Sejarah pemikiran muslim telah menjelaskan bagaimana perjalanan peta pemikiran muslim, mulai dari fundamentalis hingga modernisme. Namun, perjalanan tersebut tidak berarti suatu perjalanan linier, akan tetapi siklik. Artinya, pola pemikiran tradisional dan postmoderinse, terdapat di segala jaman. Proyek terbesar dari eksperimentasi intelektual ini di dalam Islam adalah melakukan dekonstrusi terhadap Al-Quran. Al-Quran yang dipahami oleh sebagian orang, sebagai simbol kekakuan atau kerigidan berfikir, karena ada pemahaman bahwa tidak sembarang orang dapat menterjemahkan atau menginterpresentasikan al-Quran, hanya orang orang "tertentu" saja yang mampu dan di beri hak untuk menterjemahkannya. Pemahaman ini tidak hanya pada kalangan muslim saja, dibeberapa agama samawi pun, terdapat pemahaman demikian. Hingga di dunia Kristen muncullah revolusi Lutherian pada abad ke - 18 yang melakukan "pembebasan" terhadap kerigidan tersebut. King Martin Luther, melakukan suatu pemberontakan terhadap dominasi dan hegemony gereja yang dianggapnya telah membodohi umat Kristen, dengan jalan "memutus" hubungan antara manusia-wahyu. Pastor atau pendeta, telah mengambil alih kebebasan manusia dalam berkomunikasi dengan Allahnya.
Sekali lagi, gerakan modernisasi di dalam agama, bukan berarti berjalan dengan mulus. Gerakan ini mendapat perlawanan dari kaum tradisionalis, yang memandang sinis terhadap peran rasio di dalam kehidupan agama. Salah satu pelopor gerakan anti modern tersebut adalah Wahabiah di Saudi, yang berusaha meghilangkan takhyul, bid'ah, dan khurafat, termasuk menekan rasionalitas di kalangan Islam. Dua kekuatan tersebut hidup berdampingan dalam sejarah pemikiran Islam hingga saat ini. Mereka bertahan sesuai dengan jaman dan idola masing - masing, salah satunya Arkoun.
Kaum postmoderis muslim telah berhasil membongkar otoritas teks, dengan metodologi dekontruksi model postruktualis. Menurut arkoun, teks suci dan apa yang disebut turas (tradisi) tidak lepas dari sejarah, tetapi sebaliknya, justru sepenuhnya terbentuk dan terbakukandalam sejarah.Karena itu, ia harus dibaca lewat kerangaka sejarah, dimana bagi Arkoun historisme berarti masa lalu harus dilihat berdasarkan strata historikalnya dan harus dibatasi menurut kerangaka runutan kronologisnya dan fakta-fakta nyata. Dengan metode ini relevansi teks dan konteks menjadi terhapus sehingga yang dibutuhkan adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam di dalam teks.
Pengaruh Saussure, terhadap kaum postmodern muslim, seperti Arkoun telah meahirkan cara baru di dalam membaca alquran. Seperti halnya Derrida, Kristeva, dan Barthes, telah melahirkan suatu pendekatan baru di dalam membca teks. Teks akhirnya merupakan kunci membaca kehidupan manusia. Teks tidak lagi menjadi materi, jasad atau mayat, akan tetapi ia juga memiliki kehidupan, semangat, cita-cita serta nilai, sebagai representasi dari dinamika kehidupan manusia itu sendiri. Demikian juga dengan teks Alquran, bagi Islam, posisi alquran berkaitan erat dengan eksistensi Islam itu sendiri bahkan eksistensi Tuhan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, muslim merasa perlu untuk mengetahui teks Alquran secara utuh. Selama ini umat manusia sangat tergantung dengan para ulama, karena mereka memiiki keterampilan untuk mengupas isi teks alquran. Ketergantungan tersebut akhirnya menciptakan dominasi epistemologik yang mengarah pada hegemony. Akibatnya umat menjadi terkekang dan takut untuk menterjemahkan Teks Alquran sesuai dengan kemampuannya.
Melalui pembacaan yang berbeda, kaum postmodernis muslim menawarkan suatu semangat keimuan baru dalam mendekati teks-teks Alquran. Semangat tersebut, yakni membuka kebebasan manusia individu di dalam memahami Teks Alquran, yang selama ini masih tergantung kepada interprestasi elit, seperti kiyai, ulama dan tokoh agama. Melalui metode yang popular di kalangan postmo, meletakan perhatian khusus terhadap fungsi dan kedudukan teks terhadap peradaban manusia. Jadi, setiap manusia memiliki kemampuan dan kebebasan untuk mendekati teks-teks kitab suci secara mandiri. Pendekatan model postmo ini, memberi harapan baru terhadap konstruksi epistemology Islam kontemporer, sekaligus melakukan dekonstrutuf terhadap bangunan mitologis yang menyesatkan manusia. Jika ini tujuan dekonstruksi dari kaum postmodernis muslim, maka telah meniupkan semangat baru sebagai perlawanan terhadap dominasi elit agama selama ini. Tafsir alquran bagi kaum postmodernis, tidak lagi menjadi hak preogratif para ulama, akan tetapi menjadi milik setiap orang. Setiap orang memiliki kemampuan untuk memahami berbagai makna dari "ayat-ayat" Alquran sesuai dengan kemampuan, kecerdasan, ketelitian, dan tentu "kebersahan" jiwanya.
Semangat perlawanan terhadap hegemony ulama tersebut, merupakan wujud dari ekspresi kebebasan manusia individu. Modernitas sebagai budaya, yang bertahan cukup lama kurang lebih berumur 80 an, telah menjelma menjadi penjara bagi manusia, karena manusia dikukung oleh tradisi-tradisi yang diletakan oleh para elit kepada sosial. Memang diakui banyak kecurigaan mengapa tradisi tersebut diletakan atau di pertahankan di dalam sosial, namun apabila di cermati, para sosiolog memahami lebih sebagai upaya politisasi, ketimbang sebagai sebuah loyalitas. Ini artinya, politik politik mendominasi lahirnya sebuah hegemony tersebut, yang di wujudkan daam bentuk-bentuk alternatif. Perlawanan demikian, dikemudian hari menjadi ciri kaum postmo. Berangkat dari kerangka metodologis kaum postruktualis, postmo berhasil mengukuhkan dirinya sebagai corak pemikiran baru dalam modern ini. Dan, Islam memberi peluang untuk lahirnya tokoh-tokoh demikian, karena islam merupakan agama rasional.
Hati-hati,, upaya untuk menjauhkan ulama, kiyai, ustadz trhadap umat muslim adalah salah satu bentuk usaha pengkafiran,, Nabi SAW bersabda yg isinya bahwa suatu hari di akhir zaman, umatku akan dijauhkan dari para ulama, ustadz, kiyai dan para orang beriman..
ReplyDeletebukan untuk menjauhkan dari para elit agama, tapi disini belajar mandiri untuk memahami teks -teks aquran sesuai kemampuannya. ^_^
Delete