Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas
tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar,
tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan
karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar.
Eksistensialisme adalah salah satu
aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme
mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat
kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah
melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas
itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme
menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan
itu sendiri.
Dalam studi sekolahan filsafat
eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal
dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia
dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia
bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan
eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam
istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang
bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya
universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah
kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis, bukan
melulu harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa
keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi
bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari
eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan
sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.
Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti
dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan
oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang
tua, atau keinginan sendiri.
Berkenalan dengan Eksistensialisme
Dari sudut etimologi eksistensi
berasal dari kata eks yang berarti diluar dan sistensi yang berarti berdiri
atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai beridir
sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya.
Eksistensialisme merupakan suatu
aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, dimana manusia
dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia
berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan
eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ada beberapa ciri
eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi
diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia
dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan
berdasarkan pengalaman yang konkret.
Jadi dapat disimpulkan bahwa
eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya
itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi,
yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya.
Dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan
dengan eksistensialisme ini saya kita ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia
seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya didalam
lingkungan sosial), antropologi (berkaitan anatar manusia dengan lingkungan
budayanya)
Latar Belakang Historis munculnya
Eksistensialisme.
Secara umum eksistensialisme
merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa
filusuf yang memandang bahwa filsafat pada masa yunani hingga modern, seperti
protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif
tentang manusia. Intinya adalah Penolakan untuk mengikuti suatu aliran,
penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan
sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal,
akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang
impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang
membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Tokoh-tokoh Eksistensialisme.
Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikirannya adalah
eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi,
manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita
menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari
manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap
kemungkinan.
Friedrich Nietzsche
Menurutnya masuai yang
berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to
power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh)
yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat
dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih
aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan
mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai
dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi
pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua
fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah
keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada
diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda
yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia
karena itu benda0benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada
setiap tindakan dan tujuan mereka.
Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan
manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan
mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan
berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri
Buku-buku yang membahas Eksistensialisme.
Filsafat Eksistensialisme
yang ditulis Save M Dagun
Buku ini memang cukup menjelaskan
secara umum tentang eksistensialisme terutama penjelasan istilah eksistensialisme
dan juga sejarah mnuculnya aliran ini. Mengenai tokoh dijelaskan secara garis
besar saja, jadi hanya pokok-pokok pikiran para filusuf eksistensialis, yang
disayangkan tidak semua filusuf dicantumkan dalam buku ini.
Berkenalan dengan
Eksistensialisme yang ditulis oleh Fuad Hassan
Buku ini hanya mencakup beberapa
filusuf besar eksistensialisme, dan model penulisannya seperti bercerita
tentang kehidupan filusuf tersebut dan didalam cerita itu diselipkan konsep
eksistensialisme tokoh tersebut.
Dan beberapa buku yang memmuat
eksistensialisme, seperti sari sejarah filsafat barat, para filusuf penentu
gerak zaman, persoalan-persoalan filsafat, buku pengantar filsafat, sejarah
filsafat barat midern dan sezaman, dan lain-lain yang didalam buku tersebut
bahasan eksistensialsime hanya masuk sebagai bab tersendiri atau sub bab
tertentu.
Eksistensialisme
Eksistensialisme menjadi filsafat yang populer di
Prancis, bahkan akhirnya di seluruh dunia. Søren Kierkegaard diakui sebagai
Bapak Eksistensialisme. Namun, sebenarnya Sartrelah yang memopulerkan istilah
“eksistensialisme”. Eksistensialisme memiliki banyak tokoh antara lain: Søren
Kierkegaard tentunya, Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Albert Camus, Martin
Heidegger, ada yang mengatakan Friedrich Nietzsche juga, Franz Kafka, Miguel de
Unamuno, Fydor Dostoievsky, dan tentu Jean-Paul Sartre. Masing-masing tokoh di
atas sebenarnya memiliki ide mereka sendiri-sendiri tentang eksistensialisme,
maka mustahil merumuskan suatu gambaran umum tentang eksistensialisme yang mencakup
seluruh tokoh di atas. Memang dalam beberapa kasus tokoh yang satu memiliki
pangaruh pada tokoh yang lain, tetapi akan menjadi lebih jelas jika menelaah
eksistensialisme menurut pandangan masing-masing tokoh. Namun, secara umum
empat masalah filosofis eksistensialisme adalah eksistensi manusia, bagaimana
bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka
dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Eksistensialisme menurut
Sartre memiliki dua cabang yaitu Eksistensialisme Kristiani dan
Eksistensialisme Atheis. Sartre menyatakan diri sebagai seorang eksistensialis
atheis. Dalam bab ini kita akan membahas Eksistensialisme Sartrean.
L’etre-en-soi dan
L’etre-pour-soi
Eksistensialisme adalah filsafat
yang menelaah tentang cara ada pengada-pengada, khususnya manusia. Menurut
Sartre cara ada itu ada dua yaitu l’etre-en-soi
(ada-dalam-diri) dan l’etre-pour-soi
(berada-untuk-diri). L’etre-en-soi
adalah ada yang an sich,
ada yang bulat, padat, beku, dan tertutup. Entre-en-soi
menaati prinsip it is
what it is. Perubahan yang ada pada benda yang ada-dalam-diri itu
disebabkan oleh sebab-sebab yang telah ditentukan oleh adanya, maka benda etre-en-soi
terdeterminasi, tidak bebas, dan perubahannya memuakkan (nauseant). Benda yang
berada-dalam-diri ada di sana tanpa alasan apa pun, tanpa alasan yang kita
berikan padanya.
Sedangkan l’etre-pour-soi
(mengada-untuk-diri) adalah cara ada yang sadar. Satu-satunya makhluk yang
mengada secara sadar adalah manusia. Etre-pour-soi
tidak memiliki prinsip identitas karena adanya terbuka, dinamis, dan aktif oleh
karena kesadarannya. Maka, manusia bertanggung jawab atas keberadaanya; bahwa
aku adalah frater dan bukan bruder, bahwa aku imam tarekat dan bukan imam
diosesan, bahwa aku awam dan bukan klerus, bahwa aku dosen dan bukan mahasiswa,
bahwa aku mahasiswa dan bukan pengamen. Manusia sadar bahwa dia bereksistensi.
Kesadaran Prareflektif
dan Kesadaran Reflektif
Kesadaran manusia menurut Sartre
dibagi menjadi kesadaran prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran
prafeflektif adalah kesadaran aktivitas harian. Aku bangun pagi, mandi pagi,
misa harian, laudes,
sarapan, kuliah, on-line
facebook, hora
media, makan siang, olah raga, mandi sore, vesperae, makan
malam, belajar, completorium,
dll. Aku mengalami itu semua tanpa kesadaran akan aku mengalami itu. Yang ada
dalam obyek kesadaran misalnya adalah jam weker ketika aku bangun, dinginnya
air ketika mandi pagi, hosti dan anggur ketika dikonsekrasi, mazmur ketika
mendaraskan brevir,
nasi dan lauk ketika sarapan, dosen yang menjelaskan di depan kelas ketika
kuliah, friends on
facebook ketika on-line,
bola ketika berolah raga, buku diktat ketika belajar, dll. Menurut Sartre tidak
ada “aku” dalam kesadaran prareflektif.
Namun, ketika di malam hari aku
mengambil waktu tenang sejenak untuk menulis diary,
kemudian mengambil jarak, dan memandang segenap kegiatanku selama sehari itu,
memikirkan saat aku hampir terlambat bangun pagi, memikirkan aku kedinginan
saat mandi pagi, memikirkan bahwa aku sempat mengantuk waktu misa harian,
memikirkan saat aku fals mendaraskan mazmur brevir,
memikirkan betapa aku menikmati makananku dan segelas kopi hangat, memikirkan
saat aku dan teman-teman tertawa mendengar lelucon dari dosen, memikirkan
betapa aku mengagumi kecantikan friends
on facebook-ku, memikirkan betapa sakit kakiku saat tertendang kaki
lawan, memikirkan saat aku tengah asyik menyelami pemikiran-pemikiran filsafat,
pada saat itulah aku mengalami kesadaran reflektif. Pemikiran akan diri sendiri
inilah yang Sartre sebut kesadaran reflektif. Selama aku berkonsentrasi dalam
kesadaran reflektif, aku menemukan ‘diri’ di dalam kesadaran dan hanya di sini.
Ketika konsentrasiku pecah, aku kembali kepada kesadaran prareflektif dan aku
tak lagi sadar akan ‘diri’-ku.
Le Neant (Ketiadaan) dan
Kebebasan
Kesadaran ini membuat aku mampu
membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang bisa aku lakukan. Misalnya,
ketika aku sadar bahwa aku adalah seorang frater, aku dapat membayangkan apa
yang mungkin terjadi dan apa yang bisa aku lakukan, aku bisa saja berkelakuan
baik, menaati jadwal harian, belajar dengan baik sehingga dapat lulus ujian BA
serta ujian ad
audiendas dan kemudian layak ditahbiskan, lalu ditempatkan pada
Paroki Sumber, sebagai pastor mendampingi para petani, misa setiap pagi, dsb.
Atau, bisa saja aku membayangkan bahwa aku jatuh cinta dengan salah satu friend on facebook,
kopi darat, PDKT, merasa menemukan panggilan yang lain, lalu melepas jubah dan
keluar seminari, lulus S1, susah payah mencari pekerjaan, menikah, dsb. Aku
kemudian ketakutan dengan apa yang bisa kulakukan itu, aku ketakutan dengan apa
yang mungkin terjadi padaku, aku ketakutan kalau-kalau aku melakukan apa yang
salah. Menurut Sartre kesadaran adalah “pusaran kemungkinan”. Hal ini hanya
menjelaskan bahwa kita benar-benar bebas, kita dikutuk untuk bebas. “Pusaran
kemungkinan ini” adalah “kebebasan yang sangat besar” dan sungguh menakutkanku.
Namun, dalam kesadaran dan
kebebasan itu aku memilih suatu keputusan. Bahkan, dengan tidak memilih aku
telah memilih. Hidupku terdiri dari rentetan-rentetan pilihan yang telah
kuputuskan. Pilihan ini mengantarkanku dari masa lalu ke masa kini. Antara masa
lalu dan masa kini terdapat jarak. Jarak ini oleh Sartre disebut le neant (ketiadaan).
Dengan le neant,
Sartre menolak determinisme universal karena tiada lagi kontinuitas antara masa
lalu dengan masa kini. Dalam determinisme kebebasan itu mustahil, sedangkan
Sartre menekankan kebebasan. Memang ada “faktisitas” pada masa lalu, ada
fakta-fakta pada masa lalu yang tak dapat diubah. Bahwa aku dilahirkan sebagai
orang Indonesia dan bukan orang Amerika adalah sebuah fakta pada masa laluku.
Aku tak dapat berbuat apa-apa untuk mengubah fakta historis itu. Suatu beban
sejarah. Namun, tidak ada masa laluku yang dapat membuatku terpaksa memutuskan
ini atau itu. Tiada tindakan manusia yang merupakan akibat tak terelakkan dari
masa lalu.
Kesadaran selalu membuatku
menarik jarak. Dalam kesadaran refleksif aku menarik jarak dengan masa laluku.
Aku (di masa lalu) adalah obyek bagi aku (di masa kini yang tengah
merefleksikan aku di masa lalu). Karena subyek yang menyadari berbeda dengan
obyek yang disadari, aku yang sekarang berbeda dengan aku di masa lalu.
Kesadaran memisahkan apa yang semula utuh, membuat apa yang semula padat menjadi
tidak padat. Maka, kesadaran meniadakan (neantiser).Contoh:
Memang benar bahwa aku dilahirkan dalam keluarga Katolik dan benar bahwa aku
dibaptis sejak bayi. Dua hal itu adalah faktisitas, fakta pada masa laluku yang
tak dapat kuubah sama sekali. Namun, dengan kenyataan itu aku tidak serta-merta
mengimani Allah Tritunggal dan kemudian masuk seminari. Semua faktisitas pada
masa laluku itu adalah tanda. Akulah yang menafsirkan tanda itu, akulah yang
memberikan makna dan nilai pada tanda itu. Aku bisa saja memaknai bahwa ajaran
Katolik tentang Allah Tritunggal itu isapan jempol belaka, lalu aku
meninggalkan imanku dan menjadi imam bagiku tidak ada gunanya. Namun, aku pun
juga bisa menentukan makna bahwa ajaran Katolik tentang Allah Tritunggal itu
benar lalu aku mengimani-Nya dan bahwa menjadi imam itu berharga.
Tanggung Jawab Eksistensi mendahului
esensi. Tidak ada hakikat pada manusia yang menjadikan dia serta-merta adalah
manusia. Manusia bukanlah pengada yang etre-en-soi,
melainkan pengada yang etre-pour-soi.
Sebagai pengada etre-pour-soi,
manusia tidak pernah jadi (be/sein) sebagaimana
meja yang adalah meja (etre-en-soi),
melainkan menjadi (being/werden). Manusia
menjadi manusia sejauh dia menciptakan dirinya. Manusia selalu menciptakan
dirinya. Manusia menciptakan diri lewat setiap keputusan yang dia pilih, lewat
setiap tindakan-tindakan bebasnya. Maka, manusia bebas menjadi apa yang dia
kehendaki. Manusia bukan “apa-apa” sampai dia menjadikan dirinya “apa-apa”. Pengada
yang etre-en-soi
ada begitu saja, tidak memiliki makna dan nilai. Manusia dengan kesadaran dan
kebebasannya dapat memberikan makna dan nilai pada dirinya. Nilai itu diberikan
manusia pada saat dia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan atau pada saat
dia memilih. Pilihan ini mengandaikan tanggung jawab. Tanggung jawab ini tidak
hanya tanggung jawab atas diri kita sendiri atau hanya tanggung jawab atas
pilihan kita sendiri, tetapi adalah tanggung jawab atas seluruh umat manusia di
dunia karena setiap pilihan yang kita buat memiliki implikasi terhadap orang
lain juga, setidaknya orang-orang di sekitar kita. “Apabila kita mengatakan
manusia memilih dirinya sendiri, ini tidak berarti bahwa setiap orang dari
antara kita harus memilih dirinya sendiri, tetapi juga bahwa dalam memilih
untuk diri sendiri, manusia memilih untuk semua. Karena, efek dari
tindakan-tindakan yang ia pilih untuk menciptakan dirinya,” kata
Sartre,”Memilih keputusan ini atau itu pada saat yang sama adalah penegasan
nilai yang kita pilih, karena kita tidak pernah memilih pilihan yang paling
buruk. Apa yang kita pilih selalu pilihan yang paling baik; dan tidak ada satu
pilihan pun yang lebih baik bagi kita kecuali pilihan-pilihan yang lebih baik
bagi sesama manusia. Labih jauh lagi, jika eksistensi mendahului esensi dan
kita ingin mengada dan pada saat yang sama mewujudkan citra kita, citra
tersebut valid untuk semua manusia dan semua zaman di mana kita hidup.”Tanggung
jawabku menyangkut semua umat manusia. Apa yang kunyatakan baik bagiku secara
logis harus kukatakan baik bagi semua orang. Hal ini mirip dengan “imperatif
kategoris” Immanuel Kant. Kant berkata,”Bertindaklah sehingga maksim dari
tindakanmu diterima sebagai hukum universal.” Namun, ketika pernyataan ini
ditarik sampai ke pada batas oleh Sartre, bahwa ketika aku menghendaki
kebebasanku maka aku pun menghendaki kebebasan orang lain, dia mendapati
situasi konflik yang tak terpecahkan. Kebebasanmu membatasi kebebasanku.
Hell is Others Kebebasan orang lain
tidak meneguhkan kebebasanku. Contoh: aku tengah duduk-duduk di taman menikmati
suasana senja dengan bebas. Pohon-pohon, rerumputan, bebatuan, kursi-kursi,
lampu-lampu, suasana senja di taman adalah obyek bagiku. Aku mengada bebas pada
duniaku itu. Tiba-tiba datang orang lain mengamatiku. Aku menjadi obyek
baginya. Serta-merta duniaku tersedot dunianya. Dia merenggut kebebasanku.
Namun, dia tak sepenuhnya mengobyekkanku. Ketika aku menatap balik dia, dia dan
segenap dunianya menjadi obyek bagiku. Aku (dan mungkin juga orang lain itu)
mungkin merasa malu. Dalam rasa malu aku mengetahui sebuah aspek dari
keberadaanku. Aku mendapati diriku sebagai obyek yang diciptakan oleh tatapan
orang lain. Sartre menyebut ini “berada-bagi-orang-lain”. Aku dipaksa untuk
memberikan penilaian atas diriku sendiri sebagai suatu obyek. Ketika aku menjadi
obyek tatapan orang, aku bukan lagi etre-pour-soi,
melainkan etre-en-soi.
Aku dipaksa bertanggung jawab atas diriku yang sudah dinyatakan padaku oleh
tatapan orang lain.
Nasihat Sartre Dalam hidup kita menemui
banyak sekali pilihan. Terkadang pilihan itu sebegitu dilematis sehingga kita
mengalami kesulitan untuk membuat keputusan. Seperti kisah nyata seorang
pemuda, murid Sartre, yang dicontohkannya dalam Eksistensialisme dan Humansime.
Lalu, apa yang dinasihatkan Sartre kepada pemuda tadi? “Kamu bebas, memiliki
kebebasan, maka tentukanlah pilihanmu, temukanlah pilihanmu sendiri,” kata
Sartre,”Pilihlah, yaitu, ciptakan!” Dalam setiap pilihan akan ada penderitaan,
tetapi juga ada penciptaan dunia!
Bibliografi
Hadiwijono, Harun, 2010, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius
Martin, Vincent, 2003, Filsafat
Eksistensialisme, Kierkegaard, Sartre, Camus, terj. Taufiqurrohman, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Palmer, Donald D., 2007, Sartre
untuk Pemula, terj. B. Dwianta Edi Prakosa dan Stepanus Wakidi, Yogyakarta:
Kanisius
Sartre, Jean-Paul, 2002,
Eksistensialisme dan Humanisme, terj. Yudhi Murtanto, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
No comments:
Post a Comment