Manusia dalam bahasa Arab adalah insan yang berasal dari kata naisya yang berarti lupa, lalu apakah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya di muka bumi ini ?. Manusia menghasilkan karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan makhluk lain lalu dengan karya yang di hasilkan, manusia membangun peradaban di bumi ini. Perdaban yang di bangun oleh manusia melalui karyanya dan karya itu berasal dari psikologis, situasi, emosional, dan intelektualnya.
Manusia adalah animal simbolik karena manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol - simbol dan manusia menafsirkan simbol - simbol tersebut, seperti manusia melakukan penamaan dan pemaknaan terhadap benda - benda, adanya fiksasi makna pada simbol itu sehingga simbol tidak di jadikan sekedar tanda saja tapi memiliki makna, kemudian jika manusia tidak melakukan pemaknaan terhadap simbol hilangkah hakikat manusia sebagai manusia?. Ketika manusia tidak melakukan pemaknaan terhadap simbol sudah di pastikan tidak akan lahir apa yang dinamakan bahasa, karena bahasa adalah sebuah pemaknaan terhadap gerak atau aktifitas yang di lakukan manusia, dan bahasa adalah alat untuk menggambarkan setiap gagasan yang berada di dalam otak manusia.
Dalam kehidupannya manusia tidak bisa lepas apa yang dinamakan tanda dan penanda. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Manusia adalah animal simbolik karena manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol - simbol dan manusia menafsirkan simbol - simbol tersebut, seperti manusia melakukan penamaan dan pemaknaan terhadap benda - benda, adanya fiksasi makna pada simbol itu sehingga simbol tidak di jadikan sekedar tanda saja tapi memiliki makna, kemudian jika manusia tidak melakukan pemaknaan terhadap simbol hilangkah hakikat manusia sebagai manusia?. Ketika manusia tidak melakukan pemaknaan terhadap simbol sudah di pastikan tidak akan lahir apa yang dinamakan bahasa, karena bahasa adalah sebuah pemaknaan terhadap gerak atau aktifitas yang di lakukan manusia, dan bahasa adalah alat untuk menggambarkan setiap gagasan yang berada di dalam otak manusia.
Dalam kehidupannya manusia tidak bisa lepas apa yang dinamakan tanda dan penanda. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Pandangan selanjutnya dari Derrida (1978) adalah konsep tentang difference (perbedaan) dalam memahami makna berbagai penanda (sistem simbol) yang muncul di balik fakta sosial. Derrida (1978) melihat bahwa dalam kerangka positivisme (modernis), banyak pemaknaan bahasa atau hermeneutika (studi interpretasi dan eksplanasi) yang tersembunyi di balik fakta sosial dan gejala alam yang telah di belokkan oleh kaum positivis untuk kepentingan dan kelanggengan kapitalisme dan liberalisme, namun usaha tersebut cenderung gagal dan apabila gagal maka akan berefek ke kehidupan sosial maupun dalam tatanan budaya, baik berupa demoralitas maupun disorientasi sosial masyarakat. Menurut Derrida (1976) bahwa positivisme berusaha mengganti bahasa dengan matematika dan ilmu ekonomi karena menganggap di luar kedua aspek ini maka semuanya bersifat ambiguitas, namun usaha ini gagal, hal tersebut karena di balik bahasa terdapat unsur-unsur sirkuler yang tidak mudah diinterpretasi oleh konstruksi lain, termasuk oleh matematika dan ekonomi.
Dalam konsep difference, Derrida mencetuskan ide penggabungan makna dan nilai, melalui mekanisme unsur simbolik (bahasa, istilah, dan hermeneutika), untuk menekankan peran makna dan ruang sosial di setiap proses interaksi dan prilaku manusia. Pandangannya bertitik tolak dari hakikat tanda yang tidak berdiri bebas dan cenderung selalu memiliki karakter simbolik yang tidak nampak di permukaan. Manurutnya, apabila dihubungkan antara obyek mentalitas dan kesewenang-wenangan dari proses kekuasaan, maka nilai perasaan kognitif dan afektif terselip ke dalam yang membentuk keterkungkung-an sosial yang setiap saat akan meledak. Di sisi lain pikiran dan makna berada pada kondisi yang terlepas, berkeliaran, dan mengambang diantara kemungkinan jawaban hidup yang tidak tunggal atau jamak. Menurut Derrida (1978) bahwa intesitas difference dalam proses sosial akan melahirkan perubahan-perubahan makna secara litersi atau ketimpangan sosial, salah satu perubahan yang bakal tercipta adalah proses deferral (“ejekan” atau plesetan) dari makna yang polivokal sifatanya. Plesetan atau ejekan, muncul di balik ketidaksanggupan manusia (material dan fisik) untuk menerima kekurangan fisik maupun mental manusia lain, sehingga kondisi tersebut di rekunstruksi (alterity atau keburabahan) dalam tatanan sosial dan prilaku politik. Plesetan atau ejekan tidak hanya menonjolkan kebiasaan patriaki (yang mengunggulkan peran laki-laki ketimbang erempuan dalam kehidupan sosial), namun juga dari sisi peran antara laki-laki dan perempuan dalam proses sosialnya cenderung terjadi pertentangan dan pelecehan sosial.
No comments:
Post a Comment