Manusia merupakan mahluk yang sempurna dari segi penciptaan
dengan mahluk lainnya di alam semesta raya ini. Aspek yang membedakan manusia
dengan mahluk ciptaan lainnya adalah dimensi akal yang dapat mengenali lukisan
dunia, yang mengenalkannya terhadap nama alam raya dan dikembangkan melalui
pengetahuan dan ilmu pengetahuan, untuk memakmurkan dan mensejahterakan didalam
kehidupan dunia. Akal pada manusia inilah yang menjadikan manusia mahluk yang
otonom dalam menentukan perannya sebagai khalifah di bumi. Otonomi dari
ruhaniyah, manusia memiliki kebebasan yang penuh, akan berkehendak sekaligus
menentukan sebuah pilihan. Keputusan-keputusan yang lahir dari kehendaknya dan
pilihanya itu secara simultan menjadi tanggung jawab individu.
Berkaitan dengan masalah manusia memilih agama ataupun tidak
beragama, peran manusia sebagai mahluk yang otonom, berhak menentukan
pilihannya sendiri. Pilihan yang diambilnya tentunya bukan sekedar taken for
granted terjadi. Namun, hal ini haruslah menggunakan dimensi etika rasional,
untuk pengambilan sebuah keputusan. Kebebasan dan otonomi manusia dalam membawa
kehidupanya, telah ada sebuah jaminan yang tersurat dalam Q.S. Al-Insan 76:3,
atas kebebasan beragama maupun tidak beragama dan jalan yang lurus atau
kesesatan. Manusia dengan otonomi dalam mempergunakan akalnya dan dipersilahkan
untuk memilihnya. Seyogyanya beragama ataupun tidak beragama bukan disandarkan
kepada adanya sebuah perintah ataupun larangan dari pihak eksternal, namun
cukup alasan bahwa beragama ataupun tidak beragama itu mengandung sebuah nilai
kebaikan dan keburukan dan melahirkan akibat positif-negatif. Jika beragama
memang baik dan mendatangkan nilai kebaikan, boleh jaadi seseorang memilih
untuk beragama. Hal yang sama, bila tidak beragama mengandung nilai baik dan
mendatangkan kebaikan, boleh jadi seseorang memilih tidak beragama. Dengan
demikian beragama ataupun tidak beragama merupakan pribadi seseorang.
Hak asasi dan kewajiban merupakan hal yang melekat pada diri
umat manusia tanpa terkecuali orang itu untuk memperolehnya. permasalahanya
manusia kerap kali ingin mengambil hak dan kewajiban terhadap peranan manusia
lainya dengan faktor keagamaan yang dianggapnya sebagai tugas suci yang akan
menyelamatkan umat manusia. Kejadian peniadaan hak dan pemaksaan kehendak salah
satu golongan yang sangat rentan terjadi ketika berbicara masalah agama. Karena
banyak anggapan dengan tugas agama yang suci itu, dengan secara eksplisit
memperbolehkannya atas peniadaan otonomi manusia yang lain dengan keyakinan
salah satu pihak yang memaksakan kehendaknya. Jika manusia itu berbeda
pandangan ataupun keyakinan dengan agama salah satu pihak. Mengakibatkan
pelabelan sesat, kafir, yang disandarkan kepada siapa saja yang berbeda paham
dengan dirinya.
Tentu, pelabelan sesat dan kafir terhadap pihak yang
disandarnya menimbulkan dampak yang begitu besar. Kalau saya boleh katakan,
pelabelan tersebut secara tidak langsung kita boleh membunuh orang yang sudah
dklaim sesat dan kafir tersebut, atas berbedanya pandangan, pemikiran dan
keyakinan. Begitu pula sebaliknya manusia yang di tuduh sesat dan kafir itu
melakukan sebuah pembelaan atas haknya, bahkan saling tuduh kembali,
melemparkan kesesatan itu pada yang menuduhnya. Masalah yang muncul selanjutnya
adalah perang klaim kebenaran dan perang penyelamatan (truth claim-salvation).
Kaum beragama mengaku bahwa agama sendirinyalah yang paling benar dan agama
yang lain itu salah. Hal ini menurut D’adamo merupakan krisis epistemologis
dalam agama berakar pada RWK ( religion way of knowing). Mengklaim bahwa teks
agama itu pertama: bersifat konsisten dan penuh dengan klaim kebenaran- tanpa
kesalahan sama sekali. Kedua bersifat lengkap dan final- jadi tidak ada
kebenaran (tidak ada kebenaran di agama lain), ketiga: teks-teks keagamaan itu
dianggap satu-satunya jalan untuk keselamatan, pencerahan, pembebasan. Dan
keempat dalam bahasa aslinya D’adamo have an inspired or divine author ( god
who is their true author).
Krisis epistemologi ini yang membawa manusia kerap kali
meligatimasi sebuah agama dan ayat sucinya, ketika memandang golongan yang
berbeda dengannya itu salah dan membawa pada konflik sosial. Contoh yang kita
bisa ambil terhadap Indonesia merupakan masyarakat yang mayoritas memeluk agama
konvensional walaupun ada juga yang memeluk paham kepercayaan. Hal yang sering
menimbulkan konflik di antara masyarakat yang berbeda paham akan sebuah agama
atau kepercayaan. Pengklaiman agama paling benar dan yang lain salah, menjadi
pemicu masyarakat saling berusaha “ menobatkan “ orang yang berbeda agama
dengan dirinya. Usaha-usaha yang dilakukan terkadang melanggar hak asasi
manusia, demi sebuah tugas “suci” dari Tuhan versi golongannya dan cenderung
adanya pemaksaan.
Menurut Knitter, semua agama pada dasarnya adalah
relatif-yaitu terbatas, parsial, tidak lengkap sebagai jalan melihat sesuatu.
Menganggap agama sendiri paling benar dari pada yang lain, sekarang dirasakan
sebagai sebuah sikap agak salah, ofensif, pandangan yang sempit. Mungkin kita
jangan terlalu naif dengan keyakinan sendiri dengan menganggapnya sebagai yang
paling benar dan tidak kebenaran pada keyakinan yang lain. Kebenaran yang baik
akan terlihat pada semua elemen, jika kita mau melihat banyak elemen di dunia
ini. Sebaliknya kebenaran yang tidak baik ada pada renggangnya elemen yang
sengaja tidak mau dilihat yang ditutupi dengan egois. Jadi, jangan bersikap
benar, tetapi bersikaplah dengan baik. Untuk meralativir potensi-potensi
kekerasan yang muncul dari orang beragama-berakar pada klaim kebenaran sepihak,
bisa diatasi dengan memperluas pandangan dan visi religiolitas.
Untuk menemukan jawaban sebuah kebenaran tunggal tentulah
sulit. Namun, kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap
agama, walaupun masing-masing agama memiliki bahasa dan bungkusnya yang
berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalah pahaman
dan perselisihan sering kali muncul ke permukaan. Pada tahap ini, agama muncul
dengan berbagai wajah dan ragam bahasa sementara kita cenderung melihat dari
aspek perbedaannya saja tanpa melihat persamaannya. Namun kecenderungan melihat
perbedaan itupun tidak dapat dipersalahkan karena setiap orang beriman ingin
menemukan, menggemggam dan membela kebenaran yang diyakininya berdasarkan
pengetahuan dan tradisi yang dimilikinya.
Dan sikap demikian tentu saja sikap yang terpuji, tetapi
tetap berpegang teguh pada etika dan tata-krama sosial serta tetap menghargai
hak-hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara suka
rela, sebab hakikatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau penilaian
sejati akan dilaksanakan. Namun, begitu setidaknya kita akan sepakat bahwa
selama perbedaan agama tidak menimbulkan ganguan sosial, seyogyanya kita
bersifat toleran. Keterbukaan hati kita dalam menilai seseorang dalam
menentukan pilihan yang berbeda dengan kita masih disikapi kurang legowo.
Apalagi yang menyangkut perbedaan keyakinan umat beragama. Selama agama,
keyakinan, pemikiran tidak menimbulkan situasi sosial-politik yang destruktif,
bukanlah sebuah masalah tapi anugerah.
No comments:
Post a Comment