Postmodernisme,
adalah istilah yang kerap muncul dalam wacana studi-studi sosial budaya
belakangan ini. Istilah ini diperkirakan muncul dalam terminologi yang
berkaitan dengan arsitektur sebagai sebuah proyek budaya. Kata posmodernisme
adalah kata jadian dari modernisme, dimana penambahan -post- bermakna
setelah, atau pasca. Pasca yang dimaksud adalah penolakan terhadap ide-ide geometris
Euclidean yang kaku, terstruktur, dan penuh perhitungan dalam karya-karya
bangunan era modern. Arsitektur posmodernisme menurut Rieff adalah arsitektur
yang membebaskan orang dari setiap aturan-aturan baku, arsitektur yang menurutnya
berbasiskan pada psiko-analisis Freud, arsitektur libido, arsitektur pelepasan
hasrat.
Semangat gerakan merombak (dekonstruksi) aturan baku
dalam dunia arsitektur ini yang dikemudian menggagas perkembangan gerakan
anti-struktur (pasca- strukturalisme) dalam segala bidang seperti ekonomi, bahasa,
sosial budaya, komunikasi dll. Gagasan posmodernisme yang diadopsi adalah
kritik atas konsep-konsep konservantif yang melingkupi fisikal-mental kehidupan
manusia, bahwa modernisme telah menjebak manusia ke dalam tiga fiksi besar ; representasi,
reason, history. Fiksi yang lahir dari ketakutan dan kebutaan manusia
untuk membedakan antara keharusan kebenaran (define truth) dengan
mitos-mitos dan norma-norma yang dikembangkan masyarakat. Manusia terjebak
dalam kebebasan dan aturan sosial yang menghegemoni. Ketabuan dan pamali (taboo)
yang menyebabkan manusia cukup bangga dalam wilayah-wilayah reproduksi mental,
atau konsep representasi pada masa lampau, kegiatan yang menjadikan manusia girang
dengan kekakuan-kekakuan aturan yang melingkupi diri mereka.
Representasi dan Reason
Dimulai dari kritik mengenai fiksi representasi,
penggagas postmodernisme mencoba menerangkan bahwa makna representasi (penghadiran
kembali) yang didengungkan dalam masyarakat untuk memunculkan ide-ide spiritualitas,
sains, atau apapun di setiap kegiatan manusia dalam ruang hidup, sebenarnya
hanya reproduksi mental biasa dan tak memiliki makna apa-apa. Kegiatan seperti
upacara bendera, maulud, natal, sebenarnya hanyalah kegiatan yang biasa
dikerjakan oleh orang-orang di masa lampau, tanpa ada makna bahwa itu semua
ditujukan sebagai representasi atau menunjukkan kecintaan pada bangsa,
ideologi, nabi, atau Tuhan.
Istilah representasi ini oleh Peter Eisenman, dalam arsitektur diterangkan menjadi sesuatu
yang kemudian berkembang menjadi konsep decoding, bahwa sebenarnya tidak
pernah ada perbedaan antara konsep representasi dengan realitas. Apa yang
dilakukan manusia hanyalah menafsirkan kode-kode masa silam dalam bentuk
kegiatan-kegiatan sosial namun diasosiasikan kepada banyak hal. Dalam hal ini
bisa agama, ideologi, sains, norma, atau aturan-aturan baku. Pada kenyataannya apa
yang dilakukan oleh manusia hanyalah representasi, dan representasi atas
realitasnya. Seperti pembabtisan dalam agama kristen, bukanlah kegiatan
pembabtisan yang sebenarnya melainkan hanya representasi dari kegiatan
pembabtisan yang dilakukan oleh Yesus terhadap murid-muridnya.
Konsekuensinya dari pendapat ini adalah batalnya segala
bentuk pembenaran (reason) atas konsep yang dibangun, sebab pada
kenyataannya tindakan manusia hanyalah resepresentasi dari simulasi-simulasi
yang hadir melalui simbol-simbol. Semisal konsep baju koko, kopiah hanyalah
simulasi yang mengatasnamakan kesucian kitab suci (scriptum), aliran modernisme
dan positivisme hanyalah ideologi yang seledar simulasi dari ilmu pengetahuan (science).
Apa yang ditampilkan sebenarnya bukanlah inti dari kesucian melainkan makna
permukaan (face-value). Istilah yang dalam termin filsafat dikenal sebagai bentuk-bentuk imanen, alias
bentuk realitas yang tak membutuhkan pondasi kebenaran apapun, kondisi bebas
hasrat, tak memerlukan satu konsep autentik, dan tak perlu ada pembenaran
orisinalitas. Dalam pandangan ini sebenarnya tak pernah dan perlu ada klaim
pembenaran (reason), dan pemaksaan (hegemoni), serta tingkatan kesucian
(hirarki) dalam setiap tindakan manusia.
Lebih jauh konsekuensinya adalah, bahwa segala sesuatu
itu memiliki perbedaan yang sama dan setara, dan setiap sesuatu memiliki kebenaran
argumennya masing-masing. Sebab
sebagaimana maklum setiap sesuatu telah menjadi bukti atas dirinya
sendiri (self-evident), sehingga setiap pendapat dapat dibenarkan dan
relatif. Jika setiap sesuatu memiliki keswabuktian maka jelas bahwa tindakan
manusia tidak akan pernah berhenti pada kurun sejarah tertentu dan pengertian tertentu.
Di sinilah lahir makna difference (pembeda) dalam posmodernisme menjadi
penunda (differ), setiap hasrat tindakan manusia adalah benar pada
kondisi tertentu. Setiap kurun waktu hanya melahirkan makna-makna yang tertunda
dan bukan menjadi penanda dirinya dalam ruang simulasi hasrat yang pada
hakekatnya memang tak pernah memiliki batas.
Makna ter-Tunda
Merujuk kepada Baudrillard posmodernis mencoba
memetakan pemikiran fiksinya sebagai satu pelampiasan hasrat yang tak berhenti
pada satu titik. Ruang simulasi hasrat dimana manusia mampu menciptakan kondisi
adaptatif terhadap keadaan apapun. Keinginan yang tak berbatas tadi secara
langsung menciptakan percepatan yang berbanding lurus dengan hasrat. Menimbulkan
chaos, sebab ruang simulasi tadi hanya bersifat kesementaraan, karena ia
memiliki kemampuan bereproduksi secara liar. Sehingga manusia senantiasa dikondisikan untuk melihat pada masa kini (present)
sebagai sebuah temporalitas, dengan harapan besok akan ada perbedaan (difference),
dalam posisi tunda (delay) inilah sebenarnya harapan (hope) tadi
berubah menjadi kegelisahan (chaos). Namun kegelisahan tadi merupakan
posisi krusial dan kritis untuk terus bergerak, menjajaki kemungkinan-kemungkinan (probabily of
promises), menjadi semacam semangat zaman.
Dimana probabilitas ini tidak merujuk pada masa lalu,
atau kaidah-kaidah baku, atau representasi sebelumnya, sebab apapun
dimungkinkan pada posisi krusial seperti orang yang akan tenggelam yang mencoba
meraih apapun yang ada didekatnya. Posmodernisms yang sebenarnya adalah yang
memiliki makna seperti ini, yang menjadikan ke-absensi-an makna dalam waktu
tunda tadi sebagai struktur ideologinya.
Posmodernisme
dan Kebosanan baru
Kepanikan dari kekuasaan diri sendiri untuk
berkehendak dan hasrat dalam ruang simulacra tadi, melahirkan heterogenitas,
multiplisitas, keragaman bentuk-bentuk (polymorphous), ketidak-berhinggaan,
ketidakberbatasan yang kesemuanya melahirkan produk yang akan terperangkap dalam keseketikaan (nir-waktu)
dalam bentuk keusangan-keusangan baru (new-obelescent). Sebab
kegelisahan dan panik/chaos hasrat tadi menciptakan simulasi keinginan yang
datang-pergi dalam kecepatan tinggi. Sehingga makna dari post-modernisme
sendiri adalah ketiadaannya waktu jeda dan interupsi, dengan kata lain tidak akan
sempat ada intervensi order dan sakramen suci dalam tindakan manusia ini.
Mengutip wacana tubuh dari Foucault tentang teori,
kekuasaan atas tubuh, dan kekuasaan yang memancar dari tubuh berupa kehendak
dan hasrat.
Orisinalitas kemampuan ini melahirkan struktur ketidakhadiran dalam teks,
keterbebasan makna, dan kelihaian arbitrasi dengan apapun dan kapanpun, dengan
menjadikan posmodernise sebuah wacana yang independen.
Dalam
ke-absensi-an dari orde dan order inilah maka semua konsep mengalir
terus ke dalam poros promiskuitas (promiscuity), yaitu medan prinsip
yang membolehkan kaidah apa saja tanpa batas. Sehingga perubahan dalam
pandangan posmodernisme adalah semangat dari untuk mendekonstruksi setiap bentuk
kemapanan apapun. Melahirkan semangat yang tidak mengharus-kan seseorang
berpikir bahwa tindakannya perlu kepada alasan-alasan (reasons), sejarah
(histories), acuan moral (references) serta butuh argumentasi kebenaran
(representation of truth) apapun
sebagaimana teori konservatif. Post-modernisme berpijak pada kemampuan manusia
untuk membedakan makna mengetahui dengan “mengimani”, sebab kontek mengetahui
jauh lebih berarti ketimbang sekedar mengimani masa silam dan “meng-amini” yang
telah ada.
Dalam kondisi demikian manusia akan selalu menjaga
makna krusial dalam semangat untuk terus bergerak dalam memenuhi motivasi
hasrat tadi, inilah yang disebut sebagai permulaan motivasi (beginning).
Di sisi lain kebergerakan dalam kondisi tidak stabil tadi memustahilkan akan
adanya keberhentian (the end) maka inilah yang disebutnya sebagai
keberakhiran segala permulaan (the ends of the beginning). Dengan cara
yang sama maka makna yang terbangun tentang akhir dari permulaan ini
adalah bahwa pikiran manusia tidak perlu memiliki permulaan atau akhir, landasan
atau tujuan, manusia senantiasa dalam kondisi gerak dan berubah.
Posmodernisme dan budaya massa
Meskipun pada awalnya kajian posmodernisme banyak
menggunakan terminologi tentang ruang representasi simulatif (simulacra)
untuk menunjukkan ketakberbatasannya hasrat manusia, tetapi tidak dapat
disangkal pada akhirnya terminologi post-modernisme sendiri kemudian terjatuh
pada kontradiksi budaya dan kerancuan identitas hasrat itu sendiri. Ketika
post-modernisme malah menjadi budaya pemicu pemerdekaan hasrat (the
liberation of desire) yang tak terkendalikan lagi oleh kaidah yang
dicanangkannya sendiri. Apa yang diketengahkan sebagai hasrat adalah apapun
yang dapat menggugah selera manusia terhadap kesenangan (pleasure),
termasuk di dalamnya hasrat untuk menyakiti, memusnahkan.
Euporia kebebasan yang berganti-ganti dengan kecepatan
tinggi menjadikan kegelisahan dan kepanikan dalam masyarakat posmodern, sebab
demikian kuatnya tarikkan konsumerisasi ideologi oleh sedotan mainstream kapitalisme-lanjut,
membuat setiap produk kebudayaan terjebak ke dalam pola-pola trendi. Melahirkan
kebosanan-kebosanan konsumtif, dimana masyarakat dihadapkan dalam pilihan untuk
terus mengikuti perkembangan mode dan melahirkan perilaku konsumtif. Apabila
ditilik lebih jauh, kepanikan ini akan berujung kepada pemuasaan belanja dan
konsumsi kesenangan, baik itu bertema hiburan maupun keagamaan.
Bentuk-bentuk pencarian kesenangan tadi bergerak pada
kondisi dilematis, dimana seseorang dipaksa mensimulasi kesenangannya massif melalui
media massa dengan tontonan kebodohan (stupidity) dengan cara
menertawakan lawakan yang mengeksploitasi kebodohan, hiburan kesalahan (false)
ala sinetron, penderitaan (pain)
orang yang dikerjai, kemalangan (poorness) copet yang dipukuli massa, kengerian
(thillerness) film horor atau tayangan hantu, dan kesakitan (masochism)
dalam bentuk diet, baju ketat, sepatu hak tinggi dll.
Tema-tema simulasi diri inilah yang kemudian
dikembangkan oleh banyak pengamat kebudayaan posmodernisme dengan istilah
realitas lampau yang melampaui (hyperreality). Sehingga ketika Jean Baudrillard
mengkritik simulasi yang berlebihan dalam budaya baru ini, ia menulis ; “post-modernisme
sebenarnya tidaklah pernah membuang ajaran moralitas lama, ia memakainya, akan
tetapi dengan cara-cara yang menyimpang ”.
No comments:
Post a Comment