Pages

Karl Marx dan Friederich Nietzsche Tentang Agama


Karl Marx dan Friedrich Nietzsche merupakan dua tokoh yang dianggap kontroversial dalam studi agama. Statemen keduanya bahwa agama adalah candu dan Tuhan telah mati dianggap telah melewati batas-batas toleransi. Akibatnya keduanya pada jamannya dianggapsebagai orang gila.
Apabila dikaji lebih mendalam, statemen keduanya lebih mengungkapkan keprihatinan mendalam atas situasi sosial masyarakat yang terpuruk akibat penindasan dan dominasi. Dalam situasi ini, agama justeru menjadi salah satu yang mendorong masyarakat berperilaku naif dan kontraproduktif dengan tujuan-tujuan kemanusiaan yang bersifat matyerial. Dengan demikian, agama sebagai candu dan Tuhan telah mati merupakan provokasi sosial dan kritik bagimasyarakat untuk keluar dari perangkap-perangkap kejumudan.
Tujua hidup manusia bersifat material. Bagi Marx, hakikat manusia adalah kerja, sedang Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa. Artinya manusia akan menjadi manusiawi apabila mampu mengekspresikan dalam kerja-kerja produktif yang bebas dari dominasi dan memiliki kehendak untuk mengimplementasikan kekuasaan yang mendorong untuk terus-menerus aktif dan kreatif. Awalnya, agama mendukung manusia untuk mewujudkan kemanusiaan yang sejati namun berkembang menjadi ritual-ritual yang menghambat proses humanisasi.

Agama sebagai sumber alienasi dan penyebab anomali dalam masyarakat merupakan 2 (dua) pernyataan yang kontroversial dari 2 tokoh beda generasi Marx dan Nieszche. Bagi Marx, agama adalah produk dan ekspresi kepentingan dari masyarakat kelas yang digunakan untuk memanipulasi dan menindas kelas di bawahnya. Agama memanipulasi manusia atas realitasrealitas hidup dan kehidupan yang dihadapi dengan memberikan pengharapan-pengharapan kehidupan masa depan yang bersifat hakiki dan kekal. Atas harapan-harapann yang dijanjikan agama, orientasi hidup manusia bergeser dari kondisi realitas yang bersifat materiil kepada kondisi masa depan yang non materi. Dari sinilah Marx menyatakan bahwa agama menjadikan manusia terasing dari kehidupan realitas.

Hal yang agak berbeda dinyatakan Nietzsche bahwa agama tidak merubah orientasi manusia tetapi melanggengkan mitos-mitos dalam masyarakat yang telah memfosil. Agama dengan absolutisme nilai-nilai yang ada sesungguhnya mengingkari eksistensi manusia yang serba tidak pasti. Keberadaan nilai-nilai agama yang dianggap absolut ini pada dasarnya tidak memberikan kontribusi apapun terhadap perubahan kondisi realitas manusia yang senantiasa berubah. Nilai agama yang dianggap absolut pada saat tertentu akan kehilangan keabsahannya karena tidak kontekstual dengan kenyataan hidup sehari-hari. Pada saat itulah, agama dengan nilai-nilainya mengalami krisis yang menuju keruntuhan. Namun karena sudah dianggap absolut, nilai agama yang telah mengalami krisis dan keruntuhan ini tetap dijadikan pegangan bagi manusia dalam kondisi ketidakpastian. Pada situasi inilah Nietzsche menganggap manusia mengalami apa yang disebut sebagai anomali.

Agama Sumber Alienasi Masyarakat
Agama dalam perspektif Marx tidak bisa dilepaskan dari konsepsi tentang alienasi. Hal ini karena kesimpulan akhir Mark bahwa agama menjadi sumber utama alienasi atau keterasingan masyarakat dari dunianya. Dianggap sebagai sumber utama bukan dalam pengertian agama menempati posisi paling dominan atas sumber-sumber alienasi masyarakat lainnya tetapi lebih karena masyarakat secara umum mengidentifikasikan sebagai pemeluk agama.
Dalam pengertian dasar, alienasi adalah situasi hilangnya kontrol manusia atas produk dari kegiatan kreatif yang dilakukannya. Kegiatan kreatif yang diarahkan untuk merubah lingkungan alam merupakan hal utama manusia untuk mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun kegiatan kreatif tersebut menimbulkan dampak paradoks dan ironis bagi manusia sendiri karena begitu individu menghasilkan produk dari kegiatan kreatif, produk tersebut menjadi benda obyektif yang terlepas dari manusia pembuatnya. Sementara itu kegiatan produktif melingkupi penggunaan tenaga dan kemampuan kreatif manusia, sehingga produkproduk yang dihasilkannya sesungguhnya memanifestasikan sebagian dari hakikat manusia.

Dengan menjadi benda obyektif, produk kreatif manusia mengkonfrontasikan dirinya dengan pembuatnya dalam benda yang terasing atau diasingkan. Produk kreatif menjadi benda bebas yang memiliki nilai tersendiri dan terlepas dari kontrol manusia sebagai pembuatnya dan bahkan dalam relasi lebih lanjut produk kreatif ini memaksa manusia pembuatnya untuk menyesuaikan diri dengannya.

Proses di atas tidak hanya berlaku pada produk-produk kreatif yang bersifat materiil dalam lingkungan fisik, tetapi juga non mmateri misalnya agama, organisasi, hukum, dll. Dalam proses yang sama, benda-benda non fisik yang diproduksi manusia justeru membatasi dan memaksanya tunduk serta beradaptasi. Manusia dibiarkan didominasi dan diatur oleh bendabenda yang sesungguhnya adalah bagian dari hakikatnya sendiri.

Dalam pandangan Marx, agama diposisikan sama seperti produk-produk dari kegiatan kreatif manusia lainnya. Artinya adalah agama dengan segala nilai dan moralitas yang dimilikinya sesungguhnya hasil dari kegiatan kreatif manusia yang diarahkan untuk mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Namun bukan keberalangsungan dan kebutuhan hidup yang diberikan agama kepada manusia sebagai pembentuknya tetapi justru keterasingan dan pembatasan-pembatasan manusia mengembangkan kreatifitasannya.

Pemikiran Karl Marx tentang agama banyak dipengaruhi pemikiran Feuerbach yang melakukan pembalikan terhadap filsafat Hegel. Bagi Feuerbach, dunia kesadaran manusia serta ide-ide hanya menjadi cerminan kekuatan materiil. Ia melampaui Hegel yang berhenti pada ide dan roh sebagai yang riil dan menjadi basis perubahan masyarakat. Perspektif yang lebih luas dari Hegel dikembangkan pada kritik agama dalam buku Essence of Christianity. Agama merupakan proyeksi manusia dari sifat dasarnya menjadi suatu makhluk supranatural. Proyeksi ini membiarkan manusia dikosongkan dari sifat-sifat hakikinya dan apabila ingin memperolehnya kembali manusia harus mendekati dengan menyembah atau cara-cara supranatural lainnya. Dalam realitas ini, agama dengan kekuatan supranaturalnya mengasingkan manusia dari hakikatnya sendiri.

Feuerbach memandang bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia tetapi sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Hakikat Tuhan ini tidak lain daripada hakikat manusia itu sendiri yang sudah dibersihkan dari macam-macam keterbatasan atau ciri individualnya dan kemudian dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia. Dengan kata lain, Tuhan adalah hasil proyeksi diri manusia. Feuerbach menunjukkan bahwa karakteristik Tuhan adalah tidak lain daripada karakteristik manusia yang diproyeksikan melebihi manusia ke dalam dunia fantastis melalui bentuk yang ditinggikan dan dilebih-lebihkan tersebut. Hasil proyeksi itu dipandang akan memimpin eksistensi manusia dan mengontrol manusia lewat perintah-perintahnya.

Kritik agama Feuerbach mendasari pemikiran Marx tentang agama. Marx mempercayai bahwa manusia menciptakan Tuhan sesuai dengan citranya, namun kenyataan yang terjadi dalam keagamaan masyarakat adalah sebaliknya bahwa seolah-olah Tuhan menciptakan manusia sesuai citra-Nya. Lebih lanjut, agama adalah universal ground of consolation dan sebagai candu rakyat. Dalam pengertian ini, termuat suatu implikasi bahwa apapun penghiburan yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas adalah merupakan suatu penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan sementara. Agama tidak menghasilkan solusi yang nyata dan dalam kenyataannya justru cenderung menghalangi berbagai solusi melalui penderitaan dan penindasan baru. Solusi nyata yang dimaksud di sini adalah terkait dengan pengusahaan peningkatan kesejahteraan secara material. Agama justru membiarkan kondisi yang sudah ada, meskipun orang sedang mengalami penderitaan.

Agama mengajak orang hanya berpasrah dengan keadaan daripada mengusahakan barang-barang yang dapat memperbaiki kondisi hidup. Agama cenderung mengabaikan usaha konkrit manusiawi untuk memperjuangkan taraf hidupnya lewat barang-barang duniawi. Agama malah menyarankan untuk tidak menjadi lekat dengan barang-barang duniawi dan mengajak orang untuk hanya berpikir mengenai hal-hal surgawi sehingga membuat orang melupakan penderitaan material yang sedang dialami. Agama mengajarkan orang untuk menerima apa adanya termasuk betapa kecilnya pendapatan yang diperoleh. Dengan ini semua, secara tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ada walaupun sedang mengalami penderitaan secara material. Agama mengajak orang untuk berani menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri dipandang sebagai keutamaan.

Pernyataan Marx di atas sesungguhnya ingin menggambarkan bahwa agama membuat manusia kehilangan kontrol atas dirinya untuk melakukan tindakan kreatif. Melalui manipulasi dan ilusi yang ditawarkan agama manusia menjadi makhluk yang hidup bukan pada dunia realitas tetapi dunia semu. Situasi lepas kontrol inilah yang memberi implikasi keterasingan kepada manusia. Pekerjaan yang dilakukan manusia dipahami sebatas bertahan hidup (subsisten) dan tidak sebagai alat bagi manusia mengembangkan atau menyatakan kemampuanya yang kreatif. Kritik Marx terhadap agama ini merupakan langkah pertama yang kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi kondisi materiil dan sosial yang merupakan sumber alienasi dan ilusi. Dari hal ini kemudian memicu tindakan revolusioner yang akan menghapus kebutuhan ilusi dengan membiarkan manusia bertindak kreatif untuk dirinya sendiri.

Marx menyimpulkan sebelum manusia mencapai kebahagiaan yang senyatanya, agama musti dihilangkan karena menawarkan kebahagiaan semu bagi manusia-manusia tertindas. Namun karena agama adalah produk dari kondisi sosial, maka agama tidak dapat ditiadakan kecuali dengan meniadakan bentuk kondisi sosial tersebut. Marx yakin bahwa agama itu tidak punya masa depan. Agama bukanlah kencenderungan naluriah manusia yang melekat tetapi merupakan produk dari lingkungan sosial tertentu.

Dengan kata lain, agama sesungguhnya bukan menjadi dasar penyebab keterasingan manusia tetapi hanyalah dampak dari keterasingan manusia.12 Agama menjadi semacam pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Manusia hanya dapat merealisasikan diri secara semu yakni dalam khayalan agama karena struktur masyarakat tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Karena dalam kenyataannya manusia menderita, manusia lalu mengharapkan mencapai keselamatan dari surga. Oleh karenanya, penyebab keterasingan yang utama haruslah ditemukan dalam keadaan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kritik tidak berhenti pada agama karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama, yaitu manusia. Persoalan kemudian adalah mengapa manusia mengasingkan diri ke dalam agama? Menurut Marx, kondisi-kondisi materiallah yang membuat manusia mengalienasikan diri dalam agama. Kondisi materiil di sini adalah proses kerja produksi untuk merubah alam material agar sesuai dengan kebutuhan manusia. Proses kerja ini adalah satusatunya tindakan fundamental manusia.

Hubungan antarmanusia dilihat dari perspektif pekerjaan. Bidang produksi menentukan perkembangan masyarakat, bahkan nasib manusia. Pikiran manusia menjadi fungsi bidang produksi saja. Filsafat pandangan dunia dan agama hanya mengungkap hubungan kerja dan hubungan antarkelas sosial yang saling berlawanan dalam masyarakat.

Nietzsche dan Nihilisme
Nietzsche dikenang sebagai tokoh yang mempunyai banyak karya dan mengilhami pemikir-pemikir sesudahnya. Pemikirannya dan kritiknya terhadap kebudayaan serta moralitas yang mempertanyakan kembali kebenaran yang dianggap telah mapan dalam masyarakat Eropa dianggap menggangu stabilitas sosial terutama kristiani. Gagasan utama yang dianggap “kacau” adalah nihilisme yang menganggap manusia modern berada dalam ketidakpastian. Konsepsi yang kontradiktif dengan konsep kristiani tentang absolutisme sebagai pegangan bagi manusia.
Gagasan tentang nihilisme merupakan khas Nietzsche sebagai bentuk dari kritik kebudayaan masyarakat modern yang serba positivist dan terukur. Nihilisme dianggap dekat dengan postmodernis sebagai paham yang juga mengkritisi keadaan zaman modernis yang divonis “tanpa makna dan tujuan”. Manusia berada dalam komunikasi yang serba cepat, namun manusia tidak saling mengenal satu sama lainnya. Manusia hidup dalam lingkungan yang luas, tetapi merasa sesak.

Nihilisme juga berarti pembongkaran bangunan-banguan kebenaran yang sudah ada. Namun karena pembongkaran dilakukan secara drastis, manusia kehilangan pegangan dan jaminan bahkan eksistensi manusia berada dalam ketidakberadaan (nihil). Dalam pengertian tanpa makna (kekosongan) dan pembongkaran kebenaran inilah konsep nihilisme Nietzsche disandarkan. Nihilisme dipahami sebagai die Ewige Wiederkehr (Kekembalian yang kembali dan kembali lagi secara abadi) atau tiadanya keberakhiran.

Dalam pandangan Nietzsche, ketidakberakhiran bukanlah suatu penindasan terhadap keberadaan, tetapi sebaliknya yaitu persetujuan terhadapnya. Keberadaan itu ada tanpa syarat dan tetap terus ada sampai akhir. Persetujuan terhadap keberadaan manusia tidak lain adalah meyakini keadaan apa adanya yang sesungguhnya memiliki potensi besar untuk memaknai hidup dan kehidupan tanpa ada pegangan dan jaminan kepastian dari hal-hal yang berada di luar eksistensi manusia.

Pandahangan nihilisme ini secara sosiologis dikontekstualisasikan pada kondisi masyarakat Eropa – Kristiani yang terbelenggu oleh “mitos” tentang absolutisme kehidupan yang termanifestasikan dalam 2 (dua) bidang, yaitu keagamaan (moralitas) dan ilmu pengetahuan.16 Dua bidang ini yang sesungguhnya diproduksi oleh manusia menapaki proses absolutisasi bagi proses-proses sosial yang berkembang dinamis. Namun karena masyarakat mempercayakan proses sosial kepada nilai-nilai absolut, manusia menjadi tidak mampu mengoptimalkan potensi dan mengandalkan jaminan-jaminan kepastian yang dimilikinya. Manusia seperti inilah yang kemudian oleh Nietzsche disebut anomali.

Keagamaan dan pengetahuan menjadi pegangan dan jaminan kepastian bagi manusia dalam menghadapi hidup dan kehidupan yang sesungguhnya secara eksistensial penuh dengan ketidakpastian. Dalam konteks seperti inilah kritik Nietzsche dilakukan untuk membongkar bangunan-bangunan kebenaran yang telah dianggap absolut. Melalui pembongkaran ini, manusia dipaksa untuk kembali menyadari dan menerima secara apa adanya atas ketidakpastian sebagai eksistensi dasarnya. Tidak ada lagi jaminan kepastian bagi manusia untuk menjalani proses hidup dan kehidupannya. Situasi serba tidak pasti inilah yang diramalkan Nietzsche sebagai kedatanga bahaya dari segala bahaya, yaitu nihilisme.

Kritik Nietzsche berikutnya adalah bahwa manusia yang telah terbiasa hidup dalam tradisi jaminan kepastian mengalami keterkejutan atas nihilisme yang menghancurkan secara drastis nilai-nilai yang sebelumnya dianggap absolut. Manusia lalu menciptakan nilai-nilai baru yang diabsolutkan dalam 2 (dua) bidang, yaitu Tuhan sebagaimana diwariskan Agama dan kristen dan model Tuhan lainnya seperti ilmu pengetahuan, logika, rasio, sejarah dan kemajuan (progress). Kritik atas bangunan baru inilah yang memicu Nietzsche mengeluarkan statemen kontroversial Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getotet! (Tuhan sudah mati, Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya!.

Dengan matinya Tuhan manusia seolah-olah hidup dalam ruang kosong dan masa depannya serba tidak menentu. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai peran yang sangat penting dalam sejarah manusia sebelum Nietzsche. Hidup dan kehidupan manusia dimaknai bukan oleh manusia, tetapi oleh Tuhan sebagai penjamin absolut manusia. Determinasi Tuhan dalam sejarah manusia berakibat manusia tidak bisa hidup tanpa kehadiran-Nya, sehingga ketika Nietzsche menyatakan bahwa Tuhan telah mati, manusia sibuk melakukan upaya-upaya baru agar Tuhan tetap hidup. Namun, segala upaya manusia itu gagal dan proses kematian Tuhan tidak bisa dihindari.

Nihilisme merupakan keadaan normal atau dalam bahasa lain sebagai eksistensi dasar manusia. Nihilisme menjadi hasil yang tidak dihindarkan dari seluruh gerak sejarah manusia yang sebelumnya dikuasai oleh gagasan-gagasan ketuhanan. Sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari, nihilisme berada di luar jangkauan manusia dan lebih sebagai bentuk semangat zaman membangun eksistensi manusia sesungguhnya yang tidak mengandalkan nilai-nilai di luar kemampuan humanismenya.

Tuhan dalam metode filsafat Nietzsche sesungguhnya diposisikan sebagai suatu model untuk menunjuk setiap bentuk jaminan kepastian dalam hidup manusia di dunia. Peminjaman kata “Tuhan” dinilai sangat tepat karena konsepsi teologis menunjuk pada suatu nilai dan kepastian yang bersifat absolut. Karena jaminan kepastian ini, sejarah manusia didikte oleh otoritas lain yang secara tidak kritis diterima manusia secara naif. Dengan tetap ber”Tuhan”, manusia menjadi stagnan dan mengingkari eksistensinya sebagai makhluk yang kreatif. Dalam bahasa yang lebih fasih sebagaimana dituturkan oleh Michel Foucault, salah seorang Filsuf yang banyak dipengaruhi Nietzsche terjadi ketidaknyambungan antara sejarah dengan realitas manusia. Sejarah hasil produksi manusia empiris banyak diperoleh dengan cara-cara transeden akibat campur tangan Tuhan. Dengan proses ini, sejarah yang dihasilkan manusia menjadi siasia. Dengan kematian Tuhan, manusia menjadi bebas untuk merumuskan nilai baru menggantikan nilai lama (termasuk moralitas keagamaan) yang telah usang, memfosil, dan tidak kontekstual dengan perubahan sosial.

Keberanian merumuskan nilai baru ini yang didorong Nietzsche sebagai sikap manusia yang menyadari eksistensinya yang sangat luas dan tidak didiket oleh otoritas di luar dirinya. Sikap berani merumuskan nilai baru ini yang disebut dengan “nihilisme aktif”.20 Sikap ini tidak akan pernah berakhir karena apabila rumusan nilai baru mengarah pada absolutisme, manusia musti segera menghancurkannya dan membentuk nilai baru lainnya yang lebih representatif agar tidak terdeterminasi oleh otoritas di luar dirinya yang usang.

Penutup
Secara konseptual, baik Karl Marx maupun Friedrich Nietzsche memposisikan agama sebagai suatu hal yang berkontribusi negatif bagi proyek pengembangan manusia di dunia. Hal ini didasarkan atas 2 (dua) hal, yaitu; pertama, transendensi nilai-nilai agama dalam praktek masyarakat justru menjadikan manusia mengingkari eksistensi humanismenya. Praktek ini kotraproduktif dengai desain awal agama sebagai salah satu produk manusia yang diproyeksikan sebagai representasi realitas empiris. Marx menyatakan agama menjelma sebagai benda obyektif yang eksistensinya berada di luar manusia yang tidak terjangkau, sedang Nietzsche agama menjadi otoritas di luar manusia yang mendikte proses sejarah yang berlangsung.

kuyen kuyasakti

Rakyat jelata yang haya ingin berbagi informasi.

No comments:

Post a Comment