Istilah komunis mulai popular dipergunakan setelah revolusi tahun 1830 di Prancis, yakni suatu gerakan revolusi yang menghendaki perubahan pada pemerintahan yang bersifat parlementer dan dihapuskan adanya raja. Akan tetapi yang terjadi justru dihapuskannya sistem republik dan Louis Philippe diangkat sebagai raja. Hal tersebut melahirkan munculnya gelombang perkumpulan revolusioner rahasia di Paris pada tahun 1930-1940an.
Istilah komunis awalnya mengandung dua pengertian. Pertama, hubungan mengenai komune, satuan dasar bagi wilayah negara yang berpemerintahan sendiri, dengan negara sebagai federasi komune-komune tersebut. Kedua, lebih erat hubungannya dengan serikat rahasia dan serikat yang terbuang seperti perkumpulan Liga Komunis (1847) di kalangan orang Jerman yang hidup terbuang di negara lain (Paris). Dan yang ketiga, ia dapat digunakan untuk menunjukkan milik atau kepunyaan bersama seperti yang digunakan oleh Cabet dan pengikutnya di Inggris pada 1840-an.
Istilah komunis sebagai suatu paham gerakan (ideologi) yang kemudian
digunakan oleh golongan sosialis yang tergolong militan. Marx dan Engels
menggunakan istilah dari karya mereka dengan apa yang disebut dengan
manifesto komunis. Ini untuk memberikan pengertian yang revolusioner
sekaligus memperlihatkan kemauan untuk “bersama”, bersama dalam arti hak
milik dan dalam hal menikmati sesuatu.
Pemikiran Karl Marx kemudian dikembangkan oleh Engels dan Lenin yang
kemudian disebut dengan ideologi sosialisme-komunisme. Jika sosialisme
lebih pada sistem ekonomi yang mengutamakan kolektivisme dengan titik
ekstrem menghapuskan hak milik pribadi, komunisme lebih menunjuk pada
sistem politik yang juga mengutamakan hak-hak komunal, bukan hak-hak
sipil dan politik individu.
Plato (429-347 SM)
Bagi Plato kepentingan orang-seorang harus disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat. Dengan demikian, Plato lebih cenderung untuk
menciptakan rasa kolektivisme, rasa bersama, daripada penonjolan pribadi
orang perorang. Oleh karena itu, mengenai cara kehidupan sosial, Plato
mengemukakan “semacam komunisme” yang melarang adanya hak milik dan
kehidupan berfamili atau berkeluarga. Ia memandang adanya hak milik
hanya akan mengurangi dedikasi seseorang pada kewajibannya sebagai
anggota masyarakat. Dan keperluan jasmaniah seseorang akan dicukupi oleh
negara sepenuhnya.
Akan tetapi “komunisme” cara Plato ini terbatas pada kelas-kelas
penguasa dan pembantu penguasa saja, sedangkan kelas pekerja dibenarkan
memiliki hak milik dan berkeluarga sebab merekalah yang akan menghidupi
kelas-kelas lainnya.
Semua pemikiran Plato dilatarbelakangi oleh keadaan kehidupan masyarakat
di Athena pada masa itu di mana pertentangan antara yang kaya dan
miskin sangat menyolok. Kekuasaan aristokrasi, oligarki, dan demokrasi
datang silih berganti tanpa mampu mendudukkan suatu pemerintahan yang
tetap. Latar belakang inilah yang mengilhaminya agar terdapat pembagian
tugas yang ia sebut dengan “keadilan” di mana masing-masing anggota
menjalankan perannya masing-masing.
Pemimpin perintah harus dipegang oleh idea tertinggi, yakni
dari golongan pemerintahan atau filsuf. Mereka bertugas membuat
undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya, selain memperdalam ilmu
pengetahuan dengan budi kebijaksanaannya. Mereka tidak diizinkan untuk
berkeluarga tetapi dilindungi dan dihidupi oleh negara. Begitu pula
dengan kelas pembantu penguasa, yaitu militer. Mereka tidak
diperbolehkan memiliki harta milik pribadi (kecuali kebutuhan pokok
sehari-hari), tidak diperbolehkan memiliki rumah pribadi (harus tinggal
di asrama), dan juga dilarang terlibat dalam urusan emas dan perak.
Namun negara akan memenuhi segala keperluan dan kebutuhan mereka sebagai
upah pengawalan mereka terhadap keamanan negara.
Sementara dari kelas penghasil diperkenankan memiliki harta milik
pribadi dengan ketentuan tidak boleh menjadi kaya namun tidak boleh juga
menjadi miskin. Sebab jika terlalu kaya akan menyebabkan kemalasan dan
jika terlalu miskin akan membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan
negara, penguasa, dan juga pembantu penguasa.
Oleh karena golongan mayoritas – yang merupakan kelas penghasil – tetap
diperkenankan memiliki harta pribadi dan juga berkeluarga, maka
komunisme Plato disebut dengan komunisme terbatas. Revolusi komunisme
barulah benar-benar terjadi ketika Marx dibantu oleh sahabatnya, Engel,
dalam mengembangkan ide tersebut.
Karl Marx (1770-1831)
Penggunaan istilah komunis dalam hasil karya mereka (dengan sebutan
manifesto komunis) adalah untuk memberikan pengertian yang bersifat
revolusioner sembari terus mengusung keinginan mereka untuk “bersama”,
bersama dalam hal milik maupun menikmati sesuatu.
Masyarakat komunisme yang digambarkan oleh Marx adalah suatu komunitas
yang tidak berkelas, namun tenteram dan tenang, manusia yang memiliki
disiplin diri dan memandang pekerjaan sebagai sumber kebahagiaan, lepas
dari pemikiran perlu tidaknya sebuah pekerjaan dipandangan dari segi
keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Bekerja merupakan sumber dari
segalanya, sumber dari kebahagiaan serta kegembiraan. Orang bekerja
bukan untuk memenuhi nafkah melainkan panggilan hati. Oleh sebab itu,
selayaknya tiap-tiap orang menjalani peran sesuai dengan kesanggupannya.
Karena saat itu tingkat produksi telah demikian melimpah, maka
pendapatan seharusnya tidak lagi berupa upah melainkan berdasar pada
keperluan tiap-tiap individu. Kemajuan teknologi telah memungkinkan
segala kemudahan, maka baginya tidak ada lagi perbedaan kerja otak dan
otot sebab pembagian bukan lagi berdasarkan jenis melainkan berdasarkan
keperluan hidup masing-masing individu.
Pada tahun 1844 Marx menulis Economic and Philosophic Manuscript. Dalam
tulisannya Marx dengan cerdas mengemukakan bahwa industrialisme
benar-benar nyata dan sepantasnya disambut sebagai harapan untuk
membebaskan manusia dari keterpurukan hawa nafsu akan kebendaan,
ketidakpedulian, dan penyakit. Sementara kaum romantik kala itu lebih
memandang industrialisme sebagai sebuah kejahatan, Marx mengartikan
alienasi sebagai akibat dari industrialisme kapitalis. Dalam manuskrip,
Marx mengungkapkan bahwa kapitalisme manusia dialienasikan dari
pekerjaan, barang yang dihasilkannya, majikan, rekan sekerja, dan diri
mereka sendiri. Maka buruh, menurut Marx, akibat dari industrialisme
kapitalis, kini tidak bekerja untuk mengaktualisasikan diri serta
potensi kreatifnya sebab “pekerjaannya tidak atas dasar kesukarelaan
tetapi atas dasar paksaan”.
Keterasingan dari pekerjaan itu terungkap dalam keterasingan manusia
dari manusia itu sendiri. Buruh terasing dari majikannya yang
diakibatkan oleh kepentingan yang kontradiktif; buruh ingin bekerja
dengan kebebasan sesuai kreativitasnya sendiri (minimal ia ingin
mendapatkan upah yang optimal) sementara itu majikan membutuhkan
ketaatan dari buruh. Majikan pun melakukan penekanan terhadap upah buruh
demi perhitungan untung-rugi perusahaan. Akibatnya buruh terasing dari
para buruh sebab mereka saling bersaing berebut tempat kerja. Majikan
terasing dari majikan lainnya karena terlibat juga dalam persaingan.
Dalam kondisi demikian, sistem kerja upahan sebenarnya berdasar pada hak
milik pribadi yang mana meciptakan kondisi di mana baik buruh maupun
majikan menjadi egois. Maka untuk mengembalikan kesosialan manusia yang
sesungguhnya, hak milik pribadi atas alat-alat produksi harus
dihapuskan. Akan tetapi, menurutnya, pantas kiranya untuk diketahui
bahwa hak milik pribadi bukan merupakan suatu perkembangan kebetulan
melainkan merupakan akibat dari pembagian kerja. Oleh karenanya, hak
milik pribadi tidak dapat begitu saja dihapus. Penghapusan dilakukan
berdasar pada kondisi perekonomian secara objektif. Ajaran tentang
kondisi itu oleh Marx disebut dengan “pandangan materialis sejarah.”
The Manifesto of The Communist Party, atau Manifesto Partai
Komunis yang dicetak pada Februari 1845 merupakan karya Marx dan Engels
mendapatkan respon yang luar biasa. Dalam buku ini dikemukakan mengenai
hakikat perjuangan kelas. Dengan tegas ia menjelaskan bahwa persoalan
perjuangan kelas adalah bagian yang tidak terlepas dari pergulatan
manusia sepanjang zaman. Ini bagian dari pergolakan untuk melakukan
perubahan sosial dari golongan masyarakat yang tertindas melawan
golongan yang menindasnya sejak kemunculan kelas sosial itu sendiri.
Menurut Marx polarisasi ini terdiri atas kelas Borjuis (kelas yang menindas karena memiliki hak milik atas alat-alat produksi) dan kelas Proletar (kelas terindas yang hanya memiliki tenaga yang dapat diperjualbelikan pada pihak yang memiliki alat-alat produksi).
Menurutnya, untuk melakukan perubahan menuju masyarakat sosialis yang kemudian menuju masyarakat komunis yang tanpa kelas (unclasses)
diperlukan adanya sebuah revolusi. Revolusi yang digambarkan menurut
Marx mengalami dua tahapan: pertama, revolusi yang dipelopori kelas
Borjuis untuk menghancurkan kelas feodal dan yang kedua adalah revolusi
yang dilakukan kelas pekerja dalam usahanya menghancurkan kelas Borjuis.
Pada revolusi tahap pertama, kaum pekerja tidak tinggal diam, mereka
membantu kaum Borjuis untuk menghancurkan golongan feodal. Dan pada
tahap kedua, kaum pekerja akan melakukan revolusi untuk menghancurkan
kelas Borjuis. Pada tahap transisi dari masyarakat kapitalis menuju
tahap komunisme, kekuasaan dilaksanakan oleh kelas pekerja dengan
menggunakan sistem kekuasaan yang disebut proletar. Dikator ini
diperlukan untuk menghancurkan sisa-sisa borjuis agar kelas pekerja
memegang kendali sistem pemerintahan untuk keseluruhan masyarakat.
Kekuasaan harus dipegang oleh kaum komunis yang merupakan komune yang
termaju, paling teguh, dan yang paling memahami kondisi, garis
perjuangan, dan hasil umum dari gerakan proletar.
Bagi Marx dan Engel lahirnya kelas itu tidak dapat dipisahkan dari
perjalanan sejarah dalam tahapan perkembangan kapitalis, dan pada
akhirnya dengan adanya kemauan dari kelas proletariat untuk mengubah
nasib mereka akan melahirkan revolusi di mana kaum proletar yang
mengendalikan kekuasaan secara diktator. Tindakan dikator itu merupakan
bagian dari revolusi guna menghancurkan sisa-sisa kaum borjuis dan
menuju tahap transisi yang puncaknya akan tercipta suatu masyarakat yang
tanpa kelas. Suatu masyarakat kapitalis akan tumbuh dan terus tumbuh hingga akhirnya
berhenti bertumbuh karena mengakibatkan kesengsaraan missal, sehingga
muncullah suatu perubahan masyarakat yang disebut dengan revolusi.
Marx kemudian memandang etika sebagai sesuatu yang berubah-ubah menurut
zaman dan tingkat produksi. Dalam masa-masa sebelum diktator
proletariat, etika itu baginya sama saja dengan etika kalangan berpunya,
kalangan berkuasa. Dengan demikian, etika itu bersifat nisbi, tidak ada
yang absolut, termasuk dalam apa yang telah disebutkan tadi (oberbau).
Berbeda dengan etika pekerja di masa dikatator proletariat, ia
mengemukakan bahwa etika pekerja itu penuh dengan sifat-sifat
kemanusiaan yang cenderung pada keabsolutan. Semua alat dihalalkan
asalkan tujuan tercapai. Dan baginya ini mutlak adanya.
Sementara itu, bagi Marx, agama adalah the opium of people yang
mana agama tidak menjadikan manusia menjadi dirinya sendiri melainkan
menjadi sesuatu yang berada di luar dirinya yang menyebabkan manusia
dengan agama menjadi makhluk terasing dari dirinya sendiri. Agama adalah
sumber keterasingan manusia. Agama harus dilenyapkan karena agama
merupakan alat kaum Borjuis kapitalis untuk mengeksploitasi kelas
pekerja. Agama pada masanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan
kekuasaan kaum borjuis. Ia digunakan agar rakyat tidak melakukan
perlawanan dan pemberontakan, rakyat dibiarkan terlena agar tunduk patuh
atas penguasa. Dengan kata lain agama adalah produk dari perbedaan
kelas, selama perbedaan kelas ada, maka agama akan tetap ada. Marx
percaya bahwa agama adalah perangkap yang dipasang oleh kelas penguasa
untuk menjerat kaum proletariat. Menurutnya jika perbedaan itu dapat
dihilangkan maka dengan sendirinya agama akan lenyap.
Fredrich Engels (1820-1895)
Sementara itu bagi Engel, istilah komunis ini tidak terlalu mengandung
suatu pemikiran yang utopis sebagaimana Marx seakan mendalilkan bahwa
komunisme sebagai satu-satunya cara pemecahan masalah alienasi manusia
yang diciptakan oleh kapitalisme. Komunisme bagi Marx merupakan
penghapusan yang pasti atas hal milik pribadi dan alienasi siri manusia
karena merupakan pemberian yang nyata atas hakikat kemanusiaan oleh dan
untuk manusia. Komunisme sebagai naturalisme yang telah berkembang
secara sempurna merupakan sebuah humanisme dan sebagai humanisme yang
sempurna merupakan sebuah naturalisme. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan ambisius Marx sewaktu muda: “Komunisme merupakan pemecahan
terhadap segala teka-teki sejarah. Dan komunisme sadar akan perannya
tersebut”.
Engel lebih menghubungkan istilah tersebut dengan perjuangan kelas pekerja serta konsepsi materialis dari sejarah (The Manifesto of The Communist Party, halaman
28). Engel mengemukakan bahwa bila tiba suatu waktu ketika kelas sosial
lenyap, maka kekuasaan politik pun akan lenyap. Engel – yang merupakan
seorang profesor dan filsuf berpengaruh di Jerman – sangat dikenal
dengan filsafat dialektikanya untuk memahami suatu sejarah. Ia
mengungkapkan pernah ada suatu masa masyarakat tanpa negara dan tanpa
memiliki pengetahuan tentang negara dan kekuasaannya. Pada tingkat
tertentu dari tahapan ekonomi yang berhubungan dengan terpecahnya
masyarakat menjadi kelas-kelas, negara pun hadir sebagai sebuah
kebutuhan. Kemudian dalam tahapan perkembangan produksi di mana
kelas-kelas menjadi suatu kebutuhan sekaligus “penghalang” yang baik
bagi produksi, kelas-kelas tersebut akan dihancurkan oleh sebuah gerakan
revolusioner yang bersifat komunal. Bersama dengan hilangnya
kelas-kelas tersebut maka negarapun lenyap (sebagaimana telah dijelaskan
di atas mengenai buku Marx dan Engel yang berjudul The Manifesto of The Communist Party).
Analisis
Pada akhirnya, sebagaimana dikemukakan oleh Magnis Suseno, paham Marx
mengenai komunis dan segala macam bentuk masyarakat tanpa kelas, tanpa
pembagian kerja, dan juga tanpa paksaan adalah suatu pemikiran yang absurd.
Sebab ide Marx ini bersifat utopis dan bersifat kontradiktif. Akibatnya
ide ini hanya akan mengalihkan perhatian manusia dari usaha memperbaiki
kehidupan masyarakat.
Hal tersebut terkait dengan pandangan Marx terhadap fungsi agama yang
bertentangan dalam perspektif sosiologi agama itu sendiri. Dalam
perspektif sosiologi, agamalah yang telah memberikan peran sebagai
ideologi pembebasan bagi kalangan tertindas terhadap kaum yang
menindasnya. Pemikiran Marx mengenai agama hanya didasari oleh
pragmatisme fungsi agama pada masanya saja. Maka pada hakikatnya
Marxisme dalam perkembangan penafsiran secara analisis merupakan suatu
istilah yang merangkum sekelompok doktrin menyangkut pendiriannya yang
mana tidak mungkin bisa menyatukan kesemua doktrin tersebut karena
beberapa tafsirannya saling bertentangan satu sama lain.
Sementara teori klasik yang dikemukakan oleh Marx dan Engels mengenai
perjuangan kelas banyak mendapat kritik dari para teoritis sosial sebab
rumusan mereka tidak lagi relevan dengan perkembangan sosiologi politik.
Namun banyak juga yang terpikat oleh metode perjuangan yang dikemukakan
mereka. Pemikiran ini berkembang di Eropa dan menjadi inspirasi yang
demikian revolusioner di kalangan pejuang politik yang menuntut
perubahan dan pembebasan, sebagaimana tokoh revolusioner Antonio
Gramsci, Lenin, Stalin, dan lain-lain yang mengusung gagasan ini dengan
beberapa penyesuaian.
No comments:
Post a Comment