Sebagai muslim, saya ingin mengucapkan Selamat
Natal bagi umat Kristiani. Saya amat sadar bahwa konsekuensi dari ucapan saya,
oleh sebagian kalangan Islam akan dinilai sebagai ketidakkonsistenan dalam
beragama. Tapi biarlah, toh semua orang punya kebebasan dalam menafsirkan agama
yang dipeluknya. Islam yang saya peluk bukan Islam yang anti kelompok di luar
dirinya. Islam yang saya percaya adalah Islam yang apresiatif dan akomodatif
terhadap berbagai ragam etnis, budaya, ras, termasuk agama-agama di
luarnya.
Islam dalam pemahaman saya adalah ajaran yang
penuh nilai-nilai kemanusiaan. Kalau Rasulullah saja memberikan kebebasan
kepada pemeluk agama lain untuk melakukan ritual di masjid milik umat Islam,
kenapa kita risih mengucap Natal kepada saudara kita yang Kristen?! Bukankah
Umar bin Khattab, seorang sahabat Rasulullah dan khalifah kedua juga melakukan
salat di anak tangga Gereja?!
Dalam Tarikh
Ibn Khaldun dijelaskan,
‘Umar ibn Khathtab datang ke Syam guna mengikat perjanjian damai dengan
penduduk Ramalla. Umar datang kepada mereka dan ditulisnya perjanjian keamanan
yang (sebagian) berbunyi: “Dengan nama Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
dari Umar ibn Khaththab kepada penduduk Ailea (Baytul Maqdis atau Yerusalem),
bahwa mereka aman atas jiwa dan anak turun mereka, juga wanita-wanita mereka,
dan semua gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dirusak.”
Umar ibn Khaththab masuk Baytul Maqdis dan
sampai ke Gereja Qumamah (Qiyamah), berhenti di plazanya. Waktu sembahyang
datang, ia katakan pada Patriak: “Aku hendak sembahyang.” Jawab Patriak:
“Sembahyanglah di tempat Anda.” Umar menolak, lalu sembahyang di anak tangga
yang ada pada gerbang Gereja, sendirian. Umar yang hidup pada masa Rasullullah,
melakukan lompatan-lompatan intelektual yang melampaui zamannya. Dan banyak
contoh kasus di mana Umar menimbulkan kontroversi pada masanya.
Kaum muslim juga punya sejarah panjang
menjalankan pluralisme, yang tersedia dalam sumber-sumber dan khazanah Islam.
Karenanya, mereka diharapkan menjadi kontributor pembangunan proyek pluralisme
global. Mereka tidak dapat berpikir semata-mata dalam kerangka mengulang masa
lalu, karena dunia telah mengalami perubahan sangat radikal. Kaum Muslim dapat
mengambil inspirasi dari sumber-sumber agama dan pengalaman sejarahnya, sembari
mendorong tindakan-tindakan lebih jauh menuju pluralisme dewasa ini.
Tentu pemahaman seseorang atau kelompok
terhadap Islam—tidak terkecuali saya—dipengaruhi oleh latar belakang kultural,
pendidikan, perbedaan sumber bacaan serta pengalaman pendidikan. Saya meyakini
fenomena keberagamaan manusia tidak lagi cukup didekati lewat pendekatan
teologis semata. Fenomena keberagamaan perlu didekati, diteliti, dipahami,
dikritik, bahkan dinikmati lewat kedua cara pendekatan keilmuan, baik yang
normatif-teologis maupun kritik historis-filosofis. Itu diperlukan agar kita
memperoleh pemahaman yang kokoh terhadap agama yang kita peluk (having a religion)sekaligus menghargai,
berkomunikasi, berdialog, dan bertemu dalam perjumpaan yang hangat dengan
penganut agama lain.
Pada tataran konseptual, Alqur’an telah
memberi resep atau arahan bagi manusia Muslim untuk memecahkan salah satu
masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas beragamnya keberagamaan manusia.
Alqur’an sering menyebut pemeluk Islam sebagai ummatan
wasatha (umat
yang moderat). Orang dapat menafsirkan “wasatha” dengan berbagai versi yang
dikehendakinya. Tapi jika ayat itu dipahami dan ditilik dari sudut pandang
pluralitas keberagamaan manusia, maka tampak bahwa Alqur’an memang menghendaki
umat manusia untuk tidak “berlebih-lebihan” dalam segala hal, termasuk dalam
persoalan kehidupan beragama.
Dalam kerangka ini, gerakan puritanisasi yang
digiatkan sejumlah ormas Islam, merupakan aksi pengingkaran atas watak Islam
yang pluralis. Meminjam sudut pandang Hermeneutika Gadamerian, Islam adalah
sebuah ”teks” yang terbuka untuk direproduksi sesuai horison pembaca. Umat
Islam Indonesia dengan warna-warni budayanya adalah para pembaca ”teks Islam”
sehingga punya otoritas penuh untuk menerjemahkan Islam secara berlainan dengan
Islam masa awal atau corak Islam di kawasan lain. Umat Islam Indonesia berhak
mereproduksi Islam dalam semangat keindonesiaan.
Dalam kasus mengucapkan Selamat Natal,
Alquran, kitab suci umat Islam, lebih unik dan lebih lengkap dalam memberikan
ucapan selamat. Jika Natal berarti hanya merayakan kelahiran Nabi Isa (Jesus
Kristus), Alquran justru memberi selamat pada tiga momen sekaligus: saat
kelahiran, wafat, dan kebangkitan kembali. “Dan salam sejahtera semoga
dilimpahkan kepadaku (Isa: Jesus), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku
meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan kembali (QS Maryam: 33).” Itulah
perayaan Natal “plus” versi Alquran.
Jadi, mengucapkan Natal merupakan pintu menuju
ruangan yang lebih luas: pengakuan terhadap pluralisme agama. Pluralisme tidak
semata mengacu pada kenyataan adanya kemajemukan. Pluralisme adalah
keterlibatan aktif dalam fakta kemajemukan itu. Seseorang baru dapat dikatakan
pluralis apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan yang
majemuk. Dalam pluralisme agama, tiap pemeluk agama bukan saja dituntut untuk
mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi juga terlibat dalam usaha memahami
perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.
Mengutip Prof. Diana L. Eck, Direktur the
Pluralism Project di Harvard University, “… Pluralisme bukan sekadar relativisme.
Pluralisme adalah pertautan komitmen antara komitmen religius yang nyata dan
komitmen sekuler yang nyata. Pluralisme didasarkan pada perbedaan dan bukan
kesamaan. Pluralisme, adalah sebuah ikatan –bukan pelepasan—perbedaan dan
kekhususan. Pluralisme adalah bahasa yang dibutuhkan oleh demokrasi agar dapat
bertahan hidup.” Akhirnya kepada saudara-saudaraku umat Kristiani, saya
ucapkan: “Selamat Hari Raya Natal”. Semoga kita semakin dewasa dalam menyikapi
perbedaan. ( Sumber )
No comments:
Post a Comment