Berbagai upaya
dilakukan demi memahami cinta. Para pujangga menuliskan soneta, maestro
menggubah mahakarya, filsuf berhipotesa. Tidak berlebihan bila dikatakan cinta
adalah topik yang dari zaman ke zaman masih relevan bagi peradaban manusia. Dalam
perbincangan filsafat, sebagian besar filosof pasti memiliki sudut pandang tentang
cinta, terlepas dari aliran pemikiran filsafat yang mereka usung (kaum rasionalis,
kaum empiris, kaum pragmatis, hingga postmodernis pun) memiliki opini tentang
cinta. Diawali oleh Plato dengan teori ‘Soul Mate’ dari teks Symposium, ia menekankan
bagaimana cinta yang ideal adalah cinta yang sudah mengatasi keterpasungan
‘corpus’/tubuh. Dari Kierkegaard cinta dianggap sebagai suatu tindakan yang
melampaui rasio, suatu tahap bagai seseorang untuk melompat tanpa menghiraukan
pertimbangan logis. Bagi Hume yang skeptis, ia anggap cinta hanyalah gagasan
rumit hasil elaborasi pemikiran kita, mirip dengan fantasi. Dari berbagai era, filsafat
tentang cinta masih menyimpan enigma. Sebab sesungguhnya, memang cinta adalah
misteri besar dalam perjalanan hidup manusia.
Melalui cinta
kita memahami Tuhan. Bagaimana kita bisa memahami secara intuitif tentang
Tuhan? Kierkegaard mengatakan bahwa kita tidak bisa merasionalisasikan Tuhan,
tetapi cinta diantara umat manusia adalah petanda dari kebaikan Tuhan. Cinta
diyakini oleh Kierkegaard adalah kualitas manusia yang menyerupai dengan Tuhan,
kemampuan mencintailah yang membuat manusia dekat dengan yang Ilahi. Dalam
salah satu babnya ia mengatakan mengapa mencintai bukan lagi suatu kondisi
alamiah, tetapi menjadi kewajiban. Kesempatan kita merasakan nikmatnya berkah
kehidupan, merupakan suatu amanah kita untuk wajib mencintai sesama. Ini
dianggap oleh Kierkegaard sebagai hutang kita terhadap Tuhan.
Kierkegaard
tentang kepasrahan di dalam mencintai. Fromm menganggap bahwa kepasrahan kita
dalam mencintai adalah sesuatu yang masokistik, dimana kita membiarkan diri
kita dibutakan dan dependen secara pasif terhadap seseorang. Berdiri di dalam
cinta, atau ‘standing in love’ menurut Fromm adalah suatu kondisi dimana cinta
tidak mengekang atau membatasi, tetapi cinta justru membuat seseorang menjadi
mandiri, Karena rasa takut akan kesendirian, maka seseorang memilih tergantung
terhadap pasangannya, hal ini menurut Fromm adalah gejala cinta yang
masokistis. Sebaliknya Kierkegaard memandang bahwa pengorbanan, kepasrahan dan
kepatuhan dalam cinta adalah kemuliaan dari cinta, Durabilitas seseorang saat
menanggung kesengsaraan ketika mencintai menunjukan ketulusan dan kekuatannya.
Kierkegaard menjadikan ketegaran dalam menderita demi cinta adalah suatu tolak
ukur terhadap eksistensi seseorang. Kita menerima penderitaan tersebut sebagai
suatu tindakan yang menunjukan keseriusan kita untuk memahami cinta
Kierkegaard
menganalogikan cinta sebagai buah, bila cinta adalah buah atau hasil, maka kita
dapat merekognisi hasil tersebut dari cara atau ketahanan kita saat memeliharanya.
Kebijaksanaan dan keindahan dari cinta adalah sesuatu yang tersembunyi.
Kegigihan menempuh kesengsaraan dianggap oleh Kierkegaard sebagai penyingkap
untuk menyaksikan keindahan dari cinta, “…for the abiding of love is in itself
far more noble.”3 Cinta adalah suatu proses, ia terus bermetamorforsa menjadi sesuatu
yang agung, demikian ungkap Kierkegaard. Pengorbanan, dan kerelaan menanggung
sengsara menjadi prasyarat agar cinta dapat menjadi sempurna.
No comments:
Post a Comment