Pages

Doa Untuk Tuhan Sebagai Manusia Yang Resah



 Sejarah agama selalu diwarnai dengan pertumpahan darah, seperti pada masa Voltaire, di Prancis, ada perselihan antara protestan dengan katolik, di India pada masa Gandhi juga terjadi saling bantaian antara Hindu dengan Islam. Bahkan, Indonesia sebagai negara berslogan “Bhineka Tunggal Ika” merupakan panggung berdarah krisisnya toleransi. Banyak korban sia-sia karena semangat “kebutaan” beragama. Maluku, Poso, dan Bekasi menodai sejarah sopan dan ramahnya ibu pertiwi. Tanpa sadar bangsa Indonesia sudah meng-agama-kan konflik.

Disisi lain setiap umat beragama selalu berdoa untuk menang dalam perang. Apakah tuhan sedang bingung melihat umatnya berdoa untuk saling memusnahkan?. Hidup berdampingan seperti sebuah dongeng belaka. Dibanyak tempat, perbedaan keyakinan beragama menjadi penyulut utama terjadinya kekerasan atas klaim membela kebenaran agama. Acap kali, agama hanya dipahami sebagai identitas. Padahal, memaknai agama sebagai identitas merupakan kecacatan dalam berketuhanan. Semangat eksistensi beragama yang merupakan subtansi adalah sejarah kelam agama dan akhirnya umat yang mengaku beragama terjebak pada sentiment primodial berkepanjangan.

Bangsa Indonesia hari ini seolah terbagi menjadi dua antara penonton dan aktor dari drama horor yang ditayangkan media elektronik. Tokoh agama memang pintar berakting membela Tuhan-nya dan menjatuhkan Tuhan lainnya, saling hujat dilayar kaca terlihat menjadi kebiasaan dalam beragama, dan penguasa media memang cerdik menjadikan konflik berbau agama sebagai pedulang uang, ya, mengkomoditikannya untuk dibeli umat yang haus akan perselisihan . Drama horor penuh acaman menjadi tontonan keluarga mulai dari adik, kakak, ibu, bapak dan kakek, nenek yang mau wafatpun ikut berpartisipasi menghujat lawan dari agamanya yang ada dilayar kaca, di sela-sela waktu makan malam.

Kebencian berkembangbiak terus saja beranak pinak, hingga saat mereka keluar dari rumah dengan pikiran diselimuti kebencian, ketakutan, karena merasa terancam oleh umat agama “yang lain”, dan berdoa pada Tuhan, “semoga esok si kafir musnah”. Kesadaranya terombang-ambing, ketakutan memaksanya pensiun menjadi penonton, dan memutuskan untuk terjun menjadi aktor dari drama horor yang pernah mereka tonton saat makan malam.

Sedikit potret keluarga bahagia yang tampil dalam mozaik intoleransi beragama di bumi pertiwi. Mungkin ini sedikit mewakili suasana rumah yang dipenuh segerombolan orang dungu didalamnya. Persoalan akan bertambah rumit ketika keluarga dungu ini berkumpul dan berserikat dalam rangka membela dan sok mewakili agamanya. Berteriak atas “kebenaran”, bertindak berdasarkan kebencian. Alhasil, apa yang akan dilakukan atas nama agama akan mengalami disorientasi yang memicu konflik dengan menghalalkan kekerasan

kuyen kuyasakti

Rakyat jelata yang haya ingin berbagi informasi.

No comments:

Post a Comment