Di pinggiaran jalanan ibu kota saling tatap aku dengan gedung-gedung bertingkat yang didalamnya mesin-mesin hasrat manusia dipompa tanpa kenal letih. Aku menghindar sejenak untuk beronani dengan fantasi kebebasan. Aku tidak ingin mendefinisikan esensi hidup yang ideal, moralitas dan hukum agama atau bagaimana harusnya perjalanan zaman itu berjalan sebagaimana mestinya. Aku hanya ingin bercerita atas apa yang ditangkap indra dari keseharian sebagai pemuda desa yang mencari penghidupan di ibu kota karena desa sudah dianggap tidak akan bisa menampung imaji hidup dan ego di zaman yang katanya modern tetapi lebih kepada ketidakuasaan melawan arus tuntutan hidup manusia modern dengan segudang gambaran hidup yang harus diraih dan terus muncul kemudian berevolusi kedalam bentuk-bentuk baru.
Ibu kota memberikan daya tarik atas ketidakberdayaan hidup di desa yang sebetulnya ego dari seorang sarjana muda yang seharusnya berprofesi sebagai pekerja kantoran dengan baju rapi dan bekerja diruangan yang dilengkapi mesin penyejuk daripada bergelut dengan lumpur dan cangkul. Siapa sumber kekuasan yang menggerakan tentang gambaran sebuah bentuk ideal dari sebuah hidup yang sukses dan mapan sehingga orang tua di desa pun rela menjual lahan bertani untuk menyekolahkan anaknya dengan tujuan kompensasi hidup yang akan diraih dimasa depan, menggeser tujuan pendidikan untuk menimba ilmu agar memiliki pengetahuan yang cukup untuk bekal hidup dikala dewasa dengan menyekolahkan menjadi sebuah investasi keuntungan. Timbul kepermukaan kekuasaan baru yang menggiring orang-orang desa berbondong-bondong pindah dari desa mencari hidup di ibu kota. Manusia tiba-tiba mempunyai kemampuan untuk menghancurkan tatanan yang dianggap sudah tidak lagi modern dan selaras zaman, hidup dari ladang adalah tradisional dan yang modern adalah hidup sebagai pekerja kantoran dengan baju yang rapi.
Muncul pertanyaan: mekanisme-mekanisme politis mana yang dibutuhkan untuk menghadapi "penghacuran" semacam itu? selain janji manis kesejahteraan yang semu kampanye para politisi untuk mendulang suara jika pada kenyataanya imaji tentang standar hidup manusia modern yang lambat laun menjadikan desa tidak lagi mampu menampung imaji standar hidup tentang sebuah kesuksesan. Muncul pula pertanyaan apakah agama yang menawarkan sebuah kesuksesan abadi kalah dengan tawaran kesuksesan yang bisa dihitung secara ekonomi, kemudian dibenarkan secara moral sebagai bentuk membahagiakan orang tua dan timbal balik atas lahan pertanian yang sudah diinvestasikan untuk pendidikan?, Apakah agama diletakan dibawah tuntutan ekonomi dan ego kemudian membatasinya secara hati-hati? Lalu apa nilai yang ditawarkan dari sebuah zaman yang modern?, selain manusia sekarang mampu menciptakan manusia, manusia memproduksi manusia yang dianggap mampu menggerakan roda zaman yang bertumpu pada kepentingan ekonomi dan sebagian manusia lainnya yang tidak sanggup menjadi motor penggerak dilihat sebagai sampah. Dan pertanyaan-pertanyaan ini akan dianggap sebagai fantasi para moralis yang menjadi musuh kemajuan nomor satu.
Akhirnya setelah menuturkan cerita ini sebagai fantasi onani yang singkat aku pun harus beranjak karena yang harus aku setubuhi adalah zaman dan kesadaran kolektif jika berlama lama aku akan dianggap cabul, lemah syahwat kemudian dianggap tidak produktif sebagai penggerak ekonomi pemilik modal.
No comments:
Post a Comment