Pages

Laki-Laki Karnivora: Citra Hipermaskulinitas Media


“Apa yang sedang kau lakukan, bocah?! Kau tidak bisa menang perang dengan ini!” teriak seorang pejuang tua penuh wibawa kepada seorang anak muda sembari mencengkeram tusuk sayur dari tangan si anak muda, mengganggu upayanya untuk menggoda perempuan-perempuan dan menyeretnya ke dalam sebuah adegan pertempuran bersenjata yang sureal.
“Jangan makan seperti kelinci!” perintah serdadu tua kepada pemuda yang kebingungan itu, setelah si serdadu tua memastikan bahwa keduanya hidup dan selamat dari bahaya. Sambil meletakkan sepotong daging steak yang mengepul di atas piring ke hadapan pemuda, ia menambahkan dengan bijak: “Kau ingin berlaku seperti laki-laki? Makan seperti laki-laki!”

Demikianlah cerita absurd iklan saus barbekyu yang dibintangi Sylvester Stallone. Perannya sebagai karakter mentor yang bijak, berotot, dan memancarkan kekuatan yang sekeras batu, mewariskan kebijaksanaan kuno kepada penerusnya yang lemah, yang tidak tahu bagaimana membuat pilihan makanan yang layak. Nasihat serdadu tua yang hipermaskulin itu memang dilandaskan oleh niat baik, untuk membimbing si petarung muda agar tumbuh menjadi laki-laki berdarah panas dan kuat. Yang harus ia lakukan untuk mencapai “kejantanan” itu adalah dengan memakan daging dan segala sesuatu bisa berjalan mulus.

Meski bentuk penyampaian pesan itu tampak menggelikan, makna di balik iklan ini tak lepas dari ekspektasi dan kepercayaan sosial-budaya yang mengitari kebiasaan makan laki-laki. Iklan itu secara jitu menunjukkan kenyataan bahwa bahkan makanan—yang tampaknya netral, unsur esensial untuk keberlangsungan hidup biologis—tak lepas dari klasifikasi berbasis gender dalam konteks sosial. Beberapa jenis makanan tak hanya dipisahkan dalam dikotomi laki-laki dan perempuan, tetapi juga tersusun secara hierarkis dengan, misalnya, daging hewan menduduki posisi puncak piramida nutrisi.

Sehubungan dengan kepastian ini, tidaklah mengejutkan bahwa media massa—khususnya periklanan—dengan bersemangat mengkapitalisasi sikap masyarakat terkait nutrisi dan berulangkali merepresentasikan daging hewan sebagai makanan bergizi yang secara jelas khusus laki-laki. Beragam jenis konten media, seperti program-program siaran hiburan, memasak, dan gaya hidup, bahkan secara gamblang mengekspresikan konsumsi daging dan maskulinitas. Sembari menampilkan judul, bahasa, dan konten yang secara eksplisit berpusat pada laki-laki, proyek-proyek itu menempatkan penekanan khusus pada peran daging dalam kehidupan pangan laki-laki. “Eat Like A Man”, “Knife Fight”, atau “Man v. Food” adalah tiga proyek yang memberikan nilai istimewa pada makan, khususnya daging, dan mengaitkannya sebagai bagian integral dari maskulinitas.

“Eat Like A Man”, misalnya, merupakan segmen multimedia majalah gaya hidup laki-laki Esquire yang cukup berhasil. Program itu adalah panduan makanan dan memasak bagi laki-laki, yang diproduksi dalam bentuk seri TV daring, blog, dan buku masak populer. Melalui program tersebut, laki-laki diajarkan bagaimana cara menyiapkan, atau di mana tempat yang menyajikan, daging: baik itu steak, iga, barbekyu, dll. Singkatnya, panduan praktis tentang pola makan bagi konsumen laki-laki.

Apabila kita dekonstruksi, program itu menyingkapkan sifat maskulin yang gamblang. Pembawa acara dan para kokinya laki-laki, bahasanya sangat androsentrik, dan citra visualnya sangat sarat dengan objek, simbol, dan perilaku yang biasanya membangkitkan asosiasi pada gender maskulin. Pisau, pembelahan hewan dan daging mentah, pemanggangan, alkohol, api, dan perlombaan antarkoki dalam memasak tampak menyerupai ritual pengorbanan hewan. Kompetisi memasak dengan nama “Knife Fight” ini disertai dengan penonton yang bersorak-sorak, yang menonton proses menyortir dan memasak secara langsung, seperti penonton atlet kombatan. Para pembawa acara tampak membayangkan laki-laki sebagai penonton ketika melakukan dialog atau monolog mereka, sambil secara konsisten menarik garis lurus antara maskulinitas dengan rasa lapar yang dipuaskan terutama dengan olahan daging hewan.

Keluaran media lain, “Man v. Food”, pada intinya memiliki ciri yang secara umum mengekspresikan nafsu makan lahap yang maskulin. Sorotan program itu adalah instrumentalitas tubuh laki-laki dan kebutuhan terus-menerus akan pemenuhan kembali energi fisik (Newcombe, dkk., 2012). Serial reality show ini memotret penjelajahan nafsu makan pembawa acara yang tak terkendali, yang memilih makanan dengan kandungan protein hewani tinggi, dan daging selalu ditempatkan sebagai bintang acara. Seluruh komposisi semiotik serial ini berkisar pada kepribadian pembawa acara yang dominan, yang mengesankan bahwa konsumsi daging berlebihan adalah bentuk ekspresi diri yang utama.

Pembentukan Identitas Gender Audiens 
Bagi media, praktik konsumsi daging hewan tampil sebagai materi yang mudah diolah untuk membangun identitas laki-laki, yang dalam pustaka akademik diacu sebagai maskulinitas hegemonik (Lampropoulou & Archakis, 2015). Laki-laki dengan maskulintas hegemonik memiliki ciri-ciri seperti dominan, tegas, agresif—karakteristik kejantanan yang heteronormatif—sehingga ia menjadi sesuatu yang diinginkan atau dicita-citakan mayoritas audiens.

Dalam upaya mempromosikan barang-barang tertentu, representasi media bukan hanya mempengaruhi praktik material seputar daging. Ia juga mereproduksi makna yang sudah ada dalam proses pembentukan identitas audiens, dan mempromosikan nilai itu secara lebih luas. Media arusutama bukan satu-satunya pihak dalam pembentukan identitas ini. Ia adalah bagian dari beragam aspek dalam jalinan sosial-budaya yang lebih luas.

Pembentukan identitas adalah proses rumit yang memiliki beragam sumber, baik itu sejarah, geografi, biologi, memori kolektif, fantasi pribadi, agama, dan struktur-struktur kuasa lain. Individu dan masyarakat hanya memproses dan mengadaptasi makna-makna ini bergantung pada waktu dan ruang tertentu (Castells, 2010). Meski demikian, peran media sebagai produsen budaya utama tidak dapat diabaikan.

Mesti diakui bahwa dalam sejarah daging hewan telah dipandang sebagai protein kelas atas dalam banyak budaya. Daging pun telah diperhitungkan sebagai bahan makanan yang paling penting untuk merawat kejantanan laki-laki (Adams, 2010). Bahkan aktivitas yang terkait dengan pemerolehan sumber daging: berburu, penyembelihan hewan, pemotongan atau pemilihan bagian-bagian pokok, telah didominasi oleh laki-laki. Sebagai hasilnya, pandangan masyarakat umumnya berkembang sehingga keahlian penanganan daging dianggap milik laki-laki.

Kajian makanan yang mengamati dimensi-dimensi dalam pola makan menyatakan bahwa pilihan makanan orang tidak diatur oleh alasan biologis atau ekonomis semata. Preferensi jenis makanan tertentu dibentuk oleh transaksi sosial-budaya sekaligus faktor-faktor psikologis. Gender, sebagai salah satu simpul dalam kehidupan sosial-budaya, punya andil dalam hal ini dan anggota masyarakat terlahir dalam standar-standar yang telah mapan. Satu proyek riset yang menganalisis peran makanan dalam kehidupan sehari-hari laki-laki menyatakan bahwa: “Praktik pangan membuat laki-laki menyetujui dan menegaskan citra kelelakian tradisional sehingga memungkinkan konstruksi identitas lelaki yang berakar kuat” (Newcombe, dkk. 2012). Ketundukan pada norma-norma yang diterima secara luas memungkinkan laki-laki mengafirmasi jati dirinya sesuai dengan konteks sosial yang lebih luas. Memakan daging memang memberi manfaat dalam bentuk gizi yang ia kandung, namun ia juga membawa nilai performatif bagi laki-laki.

Beberapa data menegaskan adanya ketimpangan konsumsi daging berdasarkan gender, bahkan dalam masyarakat yang memiliki budaya makan daging yang cukup kuat. Statistik USDA tentang konsumsi daging mengilustrasi bahwa di Amerika Serikat, sebagai salah satu bangsa pemakan daging terbesar, laki-laki makan daging hewan lebih banyak ketimbang perempuan. Memang benar, temuan ini hanya bicara tentang penduduk Amerika, akan tetapi data tersebut mengimplikasikan bahwa perbedaan gender juga berpengaruh dalam preferensi makan daging.

Mengapa Ini Penting?
Dengan kemajuan industri makanan, daging hewan menjadi komoditas yang mudah didapat, sehingga fokus dari bagaimana atau siapa yang memperoleh daging bergeser menjadi siapa yang makan atau harus makan daging. Media, sebagaimana terlihat dalam kasus-kasus dalam artikel ini, secara ampuh terlibat dalam upaya ini. Konsumsi daging dibingkai sebagai praktik yang dikondisikan oleh peran gender, konsep-diri maskulin, serta status kekuasaan. Representasi-representasi ini menanamkan prasangka selera makan berdasarkan gender, baik bagi mereka yang percaya ataupun tidak, dan menciptakan bias dalam alam bawah sadar.

Jika Anda, sebagai konsumen konten media, berpikir tentang representasi media tentang daging, apakah Anda mengasosiasikannya dengan laki-laki? Jika ia bertanggung jawab memasak daging, tidakkah ia berdiri di balik api panggangan atau memakai suatu cara memasak “purba” lain? Jika ia hanya di sana untuk menikmati makanan dan harus memilih antara masakan sayuran atau, misalnya, steak, apa menurut Anda langkahnya yang akan paling mudah diduga? Sekarang bayangkanlah seorang laki-laki yang tengah kelaparan, seseorang yang sukses dengan posisi sosial tinggi. Apa yang akan ia pilih untuk makan, khususnya ketika ia hendak melepas penat?

Citra yang digerakkan oleh media tersebut cenderung menegaskan sifat karnivora dalam laki-laki, menguatkan jejak mental dalam kesadaran audiens tanpa menyediakan landasan bagi mereka untuk mempertanyakan, mengapa makan daging lebih diasosiasikan dengan laki-laki daripada perempuan. Dengan menekankan bias perilaku tertentu, penyelidikan tentang mekanisme yang menciptakan cara pandang seperti itu menjadi tidak dimungkinkan oleh media.

Sistem kuasa dan dominasi telah merasuki segala aspek kehidupan sehari-hari dan, ketika bicara tentang makanan, tidak ada yang bisa menggambarkannya dengan lebih baik dari imaji manusia yang memakan daging. Jika dicermati dari lensa sosiologis, praktik makan daging menyediakan celah untuk melihat struktur dasar yang menggerakkan masyarakat, seperti hirarki dalam sistem sistem nilai atau kuasa. Pada tingkat makro, model hirarkis ini dibentuk oleh pola distribusi sumber daya alam, yang menegaskan dominasi dan penyalahgunaan manusia atas alam—bahkan atas manusia lain yang memiliki status sosial lebih rendah, atau gender dan ras yang berbeda, dll (Warren 1987).

Dengan makin merasuknya media dalam keseharian, representasi simbolik, terutama yang ditampilkan secara tegas dan berkesinambungan, punya kekuatan yang besar bagi kehidupan orang banyak. Penggambaran media yang mengasosiasikan maskulinitas dominan dengan karnivorisme meninggalkan jejak pada fenomena yang jauh lebih besar daripada preferensi makan individual. Pertama-tama, asosiasi tersebut memperkuat sikap mapan yang menopang sistem kuasa hierarkis yang ada. Kedua, hal itu terus menghidupkan dikotomi gender bahkan pada tataran yang fundamental, seperti gizi. Bias representasi media tentang konsumsi daging secara otomatis menggerogoti versi maskulinitas atau gaya hidup lain yang berbeda, yang tidak mengikutinya.

Meski tak langsung, konstruk media yang disangga secara sosial-budaya dan terkait karnivorisme tetap memainkan peran dalam mempengaruhi lingkungan non-manusia pula, dan pada gilirannya mempengaruhi manusia. Jumlah riset yang terus meningkat menyatakan bahwa emisi metan, polusi sumber daya alam, penggundulan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, isu-isu kesehatan masyarakat seperti bangkitnya resistansi antibiotik, dan bahkan keamanan pangan, sangat erat terpaut dengan pertumbuhan industri ternak (Boell.de, 2014). Industri ternak ini, pada gilirannya, tumbuh pesat akibat besarnya permintaan terhadap protein hewani pabrikan, yang dibiakkan oleh imaji periklanan tentang konsumsi daging. Memang, representasi media tentang konsumsi daging dan maskulinitas tidak berimbas langsung dalam kondisi ini, namun ia memberi pendasaran kultural atas fenomena ini. Dalam konteks ini, makna di balik kebiasaan makan sebagai penjelmaan maskulinitas perlu didefinisikan ulang.

Meski media massa, dengan kuasa simboliknya, bisa mereproduksi nilai budaya dominan, hal itu bukanlah satu-satunya yang bisa ia lakukan. Media, sebagai generator budaya yang kuat hari ini, memiliki kemampuan untuk memperkenalkan wacana-wacana baru, “model-model perilaku baru” dan “bingkai-bingkai tindakan” baru (Abercrombie & Longhurst 1998). Ini artinya media massa dapat menyediakan lingkungan simbolik untuk menciptakan asosiasi-asosiasi yang berbeda tentang konsumsi daging hewan, yang tidak merepresentasikan maskulinitas hegemonik, dominasi, dan kekuasaan.

Pustaka

Newcombe, M., McCarthy, M., Cronin, J., McCarthy, S. (2012). “Eat Like a Man” A social constructionist Analysis of the role of food in men’s lives. foodethics.univie.ac.at, [daring, bisa diakses di: https://foodethics.univie.ac.at/fileadmin/user_upload/p_foodethik/Newcombe__M._2012._Eat_like_a_man._A_social_constructionist_analysis_of_the_role_of_food_in_mens_lives.pdf]

Lampropoulou, S., Archakis, A. (2015). “Constructing Hegemonic Masculinities: evidence from Greek narrative performances”, dalam Gender and Language, 2015, Vol. 9 Issue 1, hal. 83-103.

Adams, Carol J. (2010). Sexual Politics of Meat. 20th ed. New York: The Continuum International Publishing Group Inc

Warren, J. Karen. (1987). “Feminism and Ecology: Making connections” dalam Environmental Ethics, Volume 9, Issue 1. Hal. 3-20

Castells, M. (2010). The Power of Identity: The Information Age: Economy, Society, and Culture, Vol. II, Malden, Mass: Blackwell

Abercrombie, N., Longurst, B. (1998). Audiences: A sociological Theory of Performance and Imagination, London: SAGE.

(Sumber http://www.remotivi.or.id/ dimuat ulang untuk tujuan pendidikan)

kuyen kuyasakti

Rakyat jelata yang haya ingin berbagi informasi.

No comments:

Post a Comment