Pages

Harapan – harapan Normatif terhadap Orang – orang Beragama dan Tidak


Dari satu sisi, kesadaran religious harus mengalami proses penyesuaian. Setiap agama secara asali merupakan “visi dunia” atau “doktrin menyeluruh” juga dalam arti menuntut strukturisasi sebuah bentuk hidup tertentu. Agama harus melepaskan anggapan bahwa agama mempunyai hak monopoli untuk menginterpretasikan dan mengorganisir seluruh aspek kehidupan karena ada ikatan-ikatan sekularisasi untuk pengetahuan, untuk netralitas kekuasaan Negara dan kebebasan beragama yang berlaku untuk semua. Dengan adanya diferensiasi fungsional dari subsistem social parsial, juga hidup komunitas religious terpisah dari konteks sosialnya. Peran anggota komunitas agama berbeda dari peran warga dari masyarakat. Sejak Negara liberal tergantung dari integrasi politis dari para warga Negara, yang harus megatasi segala cara hidup (modus Vivendi), pembedaan ketermasukan tadi tidak dapat dihilangkan dalam suatu penyesuaian kognitif dan orang tidak dapat memaksakan hukum dari pihak masyarakat secular terhadap mereka dari etika religious.
            Susunan yuridis universal dan moral social egaliter harus menyatu dalam etika komunitas sehingga menghasilkan suatu yang koheren secara timbale balik. Dari penyusunan ini, John Rawls memilih gambaran “model”. “Model” keadilan duniawi ini walaupun disusun melalui prinsip-prinsip netral dalam hubungannya dengan visi dunia, akan sesuai dengan konteks pembenaran ortodoks yang setiap kali muncul.
            Negara liberal menghubungkan harapan normative ini dengan komunitas-komunitas religious. Harapan ini akan sesuai dengan kebutuhan komunitas-komunitas religious ini sejauh diberi kesempatan untuk menyatakan aspirasi mereka dalam masyarakat, dengan segala kompleksitasnya, melalui opini public politik. Tentu saja beban konsekuensi dari toleransi tidak sama antara orang beragama dan tidak, seperti yang tampak dengan jelas dalam peraturan abortus yang kurang lebih liberal. Walaupun demikian, kesadaran nonreligius tidak mengambil manfaat dengan Cuma-Cuma dari kebebasan negative agama. Dari kesadaran tersebut, diharapkan pencapaian suatu hubungan autorefleksif dalam batas-batas illuminisme. Sikap toleransi masyarakat pluralis dengan aturan liberal tidak hanya menuntut kepada orang beragama untuk secara rasional memberikan ruang kepada mereka yang tidak setuju atau berpendapat lain dalam hubungannya dengan orang-orang tidak beragama atau berkeyakinan lain. Sebaliknya, yang beragama dalam suatu konteks budaya politik yang liberal.
Mereka yang bernada sumbang terhadap agama juga diundang untuk merefleksikan hubungan antara iman dan prespektif pengetahuan duniawi. Jika terjadi pertentangan berlarut-larut antara iman dan pengetahuan, perlulah berpikir secara “rasional”. Darisudut pandang non religious, dibutuhkan sebuah status epistemologis yang bukan hanya suatu yang irasional belaka. Karena itu dalam opini public, politik visi dunia naturalistis tidak mendapatkan tempat prioritas istimewa dibandingkan dengan konsep-konsep religious atau kosmologis yang menjadi lawannya. Visi dunia naturalistic ini terbentuk dari pengolahan spekulatif kembali terhadap informasi-informasi ilmiah dan relevan bagi pemahaman diri etis dari para warga.
            Netralitas kekuasaan Negara sehubungan dengan visi dunia, kebebasan etis yang sama bagi setiap warga Negara, itu tidak bias diperdamaikan dengan generalisasi politis yang berasal dari Negara secular. Warga Negara yang secular tidak dapat mengabaikan suatu potensi kebenaran dalam garis prinsip dari konsep-konsep dunia religious atau pun menolak hak warga Negara yang beragama untuk memberikan sumbangan pada diskusi public dalam bahasa religious. Kultur politik liberal, bahkan dapat menuntut para warga Negara yang secular untuk ikut berusaha menerjemahkan bahan-bahan yang bermakna dari bahasa religious ke dalam suatu bahasa yang dapat di pahami oleh semuanya.

kuyen kuyasakti

Rakyat jelata yang haya ingin berbagi informasi.

No comments:

Post a Comment