Sayap kanan dan sayap kiri atau radikal kanan dan radikal kiri, merupakan istilah yang sering dipergunakan banyak orang dalam menilai kehadiran dua paradigma raksasa, Islam dan Marxisme. Sayap kanan atau radikal kanan ditujukan untuk menggambarkan kehadiran Islam, sementara istilah sayap kiri atau radikal kiri diarahkan pada gambaran akan pikiran berikut aplikasi dari Marxisme. Istilah ini muncul sebagai gambaran dari penilaian mereka yang mempergunakannya terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam kedua bangunan paradigma raksasa tersebut yang menguap dan tampak pada prilaku penganutnya.
Dalam budaya bahasa, secara substantif, kata “kanan” ditafsirkan dengan hal-hal yang bersifat baik, positif, penurut, menyenangkan atau membahagiakan. Sementara sebaliknya, kata “kiri” dipahami sebagai simbol dari hal-hal yang bersifat buruk, negatif, pembangkang, mengancam dan kenistaan. Walaupun tafsiran dan pemaknaan ini hanya berpijak pada akar kebiasaan budaya bertuturnya manusia, akan tetapi pendayagunaannya telah menyejarah seiring dengan proses sejarah perkembangan bahasa manusia.
Kehadiran Islam yang sejak awalnya menawarkan perbaikan prilaku dalam penataan ulang peradaban kemanusiaan, ibaratkan guyuran air hujan di atas tanah kering kerontang saat kemarau. Kondisi masyarakat yang telah lelah menyimpan setumpuk kebingungan teologis (keyakinan) dan memendam rintihan kemanusiaan menjadi pupuk penyubur bagi bibit kebenaran yang coba ditawarkan oleh Islam melalui aktivitas dakwah Muhammad. Penolakan terhadap Islam pada awal kehadirannya hanya disebabkan oleh misi teologis (ajaran tauhid) yang dikumandangkan oleh Muhammad melalui pernyataan penolakan dan penafian terhadap tuhan-tuhan bangsa Quraisy. Misi ini disampaikan Muhammad dengan nada tegas tanpa mengenal kompromi, berbeda dengan misi-misi humanistis yang dalam penyampaian dan pemberlakuannya lebih bersifat dialogis dan kompromis.
Misi humanistis (kemanusiaan) dimaksudkan dengan konsep penataan peradaban kemanusiaan yang diawali dengan program penyelamatan esensi (hakikat) dan eksistensi (keberadaan) manusia, yang sebelum kehadiran Islam secara utuh, terabaikan dan hanya dilakonkan sebagai sebuah kemestian dari alam semesta dalam ritual peradaban bangsa. Bahkan misi humanistis inilah yang kemudian menjadi sarana bagi kemudahan Muhammad dalam memberikan kejelasan tentang esensi dan eksistensi Tuhan.
Diterimanya misi humanistis secara mudah oleh masyarakat Quraisy pada saat itu lebih disebabkan oleh keinginan mereka untuk segera terbebas dari tirani ritualitas peradaban kemanusiaan yang mereka sadari telah menjadi bencana kehidupan, baik secara psikis, fisikal, moral maupun rasional. Kehadiran Islam dengan misi humanistisnya ibaratkan tetesan air bagi seorang musafir yang kehausan di bawah terik sinar matahari di padang pasir. Gayung bersambut kata berjawab, demikian pepetah bagi kepantasan relasi dua fenomena ini.
Tidak jauh berbeda dengan Islam, pada awalnya kehadiran Marxisme mendapatkan sambutan positif, khususnya dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Akan tetapi, ketika kelompok-kelompok tertentu merasa dirugikan dan dipojokkan, keberadaan paham atau aliran ini mulai menuai badai kritik dan protes. Pemikiran Marx yang mencoba membebaskan manusia dari alienasi (keterasingan) sosial ekonomi dan alienasi religius, ibaratkan seekor naga yang sedang menggeliatkan kepala dan ekornya. Geliatan kepala naga Marx telah menghantam bangunan arogansi kapitalisme, sementara ekornya telah memporakporandakan – walau belum sampai pada tahap pemberangusan – dikotomis (pemilahan) sikap kaum gereja.
Kalau Islam awalnya ditolak namun pada akhirnya diminati, maka Marxisme yang awalnya direspon dengan baik kehadirannya akan tetapi hingga saat ini masih diterpa kritik walau tidak sekeras gema kritik sebelumnya. Bahkan kritikan yang berkembang akhir-akhir ini, terutama sejak seluruh karya Marx bersama Engels telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dunia. Sementara Islam, dengan otentisitas Al Qurannya kian hari kian diminati, baik untuk dikaji maupun untuk dijadikan sebagai sarana pengembaraan keyakinan.
Perbedaan respon sejarah terhadap kehadiran kedua paradigma raksasa yang terungkap di atas sebenarnya tidaklah menyentuh esensi dari makna „perbedaan‟ itu sendiri. Paparan tersebut digunakan hanya untuk mengingat sejarah kehadiran keduanya. Sisi persamaan dari kedua paradigma ini dapat disimak pada misi humanistis yang terkandung dalam ajarannya. Keduanya sama-sama berupaya membebaskan manusia dari tirani tradisi dan dogma yang secara arogan (angkuh) dilakonkan dalam sistem kemasyarakatan pada masanya.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk melakukan „pembedaan‟ antara kedua paradigma tersebut, karena kecenderungan dari kerja „membedakan‟ adalah „memilih‟. Sementara konsekwensi dari pilihan adalah lahirnya penilaian subyektif, bahwa salah satu dari pilihan itu dipahami lebih baik dibandingkan yang lain. Oleh karenanya tulisan ini hanya sekedar memerikan kebaikan yang tertangkap dari hasil analisis penulis tentang Islam dan Marxisme. Sebab, dalam logika axiologi nilai „lebih baik‟ mengandung makna, bahwa yang tidak dipilih belum memenuhi kriteria sempurna untuk dapat dipilih. Padahal, yang tau tentang kesempurnaan hanyalah Dzat Yang Maha Sempurna, yakni Tuhan, dan kita bukan Dia, ingat !
Manusia dan Alienasi Diri
Man, the Unknown, demikian kesimpulan Reesir, seorang antropolog Inggris, ketika mengakhiri proses pencariannya tentang hakikat manusia melalui sebuah penelitian. Kesimpulan ini mengisyaratkan bahwa manusia merupakan makhluk yang unik dan penuh misteri. Keunikan manusia justru terletak pada kemisteriannya yang hingga kini telah terbukti dengan belum ditemukannya terminologi (definisi) yang dapat manfasilitasi gambaran tentang manusia itu sendiri. Kalaupun ada, terminologi yang dirumuskan para ahli hanyalah menggambarkan tentang salah satu aspek dari manusia sesuai dengan latar keahlian mereka masing-masing.
Karl Marx yang sejak awal memulai pengembaraan pemikirannya di bidang filsafat, memahami manusia sebagai makhluk alamiah yang berkembang dalam lintasan sejarah manusia. Menurutnya, perkembangan secara pesat dialami manusia dikarenakan adanya daya kreatif yang menjadi energi pendorong dalam mewujudkan hasrat berproduksi. Produktivitas manusialah yang kemudian membentuk lintasan tapak sejarah. Dengan kata lain, keseluruhan sejarah merupakan akibat dari adanya aktivitas manusia dalam berproduksi. Oleh karenanya, sebutan makhluk „menyejarah‟ pada manusia harus diartikan sebagai makhluk yang menciptakan sejarah, bukan sebagai makhluk yang hanya sekedar melintasi sejarah.
Selanjutnya Marx mencoba merumuskan terminologi tentang manusia yang bertentangan dengan konsepsi Hegel. Menurut Hegel manusia adalah jiwa terbatas dan mengalami kemajuan secara berkesinambungan dalam lintasan sejarah dengan bekal kesadaran akan kebebasan. Bagi Marx manusia merupakan makhluk alami yang senantiasa berproduksi, kemajuan tidak dalam kesadaran akan tetapi dalam perbudakan, dan dalam perjalanan sejarah kemajuan itu meningkat secara pesat. Dalam menjalani proses perbudakan dimaksud manusia, dalam hal ini kaum buruh, menghadapi dua pilihan kondisi, yaitu semakin produktif karena memiliki daya kreatif dalam dirinya, atau terjebak dalam alienasi (keterasingan).
Daya kreatif sebagai makhluk alamiah telah menjadi kekuatan bagi manusia dalam mengubah obyek-obyek dunia alamiah sekaligus menciptakan budaya seluruh dunia. Perkembangan budaya dan keseluruhan arah lintasan sejarah dunia sangat tergantung pada aktivitas manusia. Namun sayangnya, menurut Marx, manusia cenderung tidak menyadari bahwa aktivitasnya memberikan pengaruh terhadap arah perkembangan keseluruhan sejarah dunia, sehingga sisi gelap yang terkadang menempel dalam perkembangan budaya memunculkan akibat yang dapat merusak totalitas tatanan peradaban manusia itu sendiri. Bahkan pada bagian lain, manusia juga tidak menyadari bahwa dirinya adalah pencipta obyek-obyek alamiah seperti dunia dan budaya. Hal ini tampak ketika ia memandang obyek-obyek yang ia hasilkan itu sebagai benda-benda asing yang berada dalam sebuah dunia asing antagonis (jahat) dan siap melawan dirinya. Kondisi seperti inilah nantinya yang membuat manusia mengalami problem terbesar dalam hidupnya, yakni problem alienasi.
Berkaitan dengan peran dan pengaruh aktivitas manusia dalam perusakan totalitas peradaban, al-Quran telah memerikan, bahwasanya manusialah yang menjadi aktor dari berbagai macam kerusakan obyek-obyek alamiah dunia, baik sebab secara langsung maupun tidak langsung (QS. 2: 12, 30: 41). Sebagai sebuah agama yang sarat dengan bahasa-bahasa pengharapan, Islam melalui al-Quran mengingatkan bahwasanya manusia yang membuat kerusakan akan mendapatkan ganjaran bagi dirinya. Secara realistis, ganjaran tersebut bisa langsung dirasakan oleh manusia di saat ia masih menjadi bagian dari kehidupan dunia riil, dan secara metafisis akan ia dapatkan ganjarannya di akhirat kelak (QS. 47: 28-34).
Problem keterasingan hanya akan dapat diatasi oleh manusia jika ia mampu mengarahkan potensi gairah beraktivitasnya dengan belajar menghargai hasil karyanya sendiri dan juga hasil karya manusia lain. Sebab utama terjadinya alienasi adalah ketidakseimbangan antara penghargaan yang diperoleh dengan volume kerja yang dilakukan manusia. Hal inilah yang kemudian menjadi shuting point (sasaran tembak) Marxisme terhadap kaum kapitalis di masa itu. Dalam pandangan Marxisme, sistem kapitalis yang diterapkan oleh para pemilik modal benar-benar telah merubah kaum buruh bertabiat seperti binatang.
Sistem kapitalis tidak memberikan ruang kreatif bagi aktivitas buruh sebagai manusia. Para buruh bekerja sesuai dengan kepentingan kaum kapitalis sehingga apa yang mereka kerjakan bukanlah dari hasil kreasi pemikiran sendiri. Semakin besar volume kerja mereka maka dengan sendirinya semakin ter-alienasi-lah mereka dari dirinya sendiri. Tabiat binatang mulai tampak pada prilaku kaum buruh ketika mereka sudah terjebak dalam rutinitas kehidupan yang konstan (tetap), yaitu : bekerja – dapat upah – makan – berhubungan seksual – istirahat.
Sebagai agama yang selalu memotivasi ummatnya untuk berusaha dalam hidup, Islam sangat tidak membenarkan bekerja dengan rutinitas seperti tersebut di atas karena manusia telah dianugerahkan akal yang nyata-nyata membedakannya dengan binatang. Oleh karenanya al-Quran secara tegas memerintahkan manusia untuk berkreasi dalam bekerja agar di dalam melakukannya manusia bisa merasakan ketenangan sebagai sebuah pengabdian (QS. 37: 61, 39: 39).
Konsekwensi yang paling buruk dari rutinitas kehidupan konstan menurut Marx adalah munculnya sifat dan sikap tamak, dimana upah tidak lagi dipahami sebagai penilaian atas prestasi kerja, akan tetapi sudah dianggap sebagai sebuah akibat dari pekerjaan. Dengan demikian, ketika upah tidak didapatkan maka manusia tidak akan melakukan pekerjaan. Pada akhirnya mereka hanya berdiam diri dan berharap akan datangnya mukjizat. Harapan seperti ini, termasuk harapan untuk selalu dapat menyelesaikan problem kehidupan, mereka gantungkan pada tali temali bahasa agama, karena di dalam agama, melalui bahasa dakwah yang mereka dengar dari para pemuka gereja, kebahagiaan dan ketenangan akan diberikan Tuhan kepada manusia yang senantiasa bersabar dalam hidupnya.
Di dalam Islam dikenal konsep do‟a dan ikhtiar, dimana keduanya selalu disampaikan dalam satu bahasan yakni tentang keharusan berusaha. Islam melalui lisan Muhammad, sangat tidak membenarkan manusia yang hanya menyandarkan nasibnya pada do‟a tanpa ikhtiar dan usaha. Namun Islam juga menganjurkan untuk selalu berdo‟a dalam setiap ikhtiar dan usaha. Dalam logika humanistis Islam, perubahan dan perbaikan nasib manusia tidak ditentukan oleh siapapun kecuali manusia itu sendiri yang menghendaki dan berusaha mewujudkan kehendaknya untuk berubah ke arah perbaikan (QS. 8: 53, 13: 11).
Manusia dan Agama
Agama merupakan salah satu contoh dari tipe masyarakat yang memiliki konsepsi idiologi. Ia hadir sebagai bentuk akumulasi dari berbagai konsepsi idiologi dari sebuah budaya. Di dalamnya terkandung berbagai konsepsi yang menjanjikan perbaikan hidup dan gambaran tentang kehidupan abadi. Agama hadir dari kesadaran spiritual manusia dan untuk kebutuhan spiritualitas manusia yang memang merupakan sifat qudratinya.
Religion is the Opium of the People, demikian pernyataan Karl Marx ketika menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan masyarakat industrialistis. Menurut Marx, agama hanyalah sekedar sebuah kekuatan sosial dimana kodrat manusia dibentuk. Agama dibutuhkan di saat manusia mengharapkan ketenangan dalam hidupnya. Bahkan agama hanya menjadi sarana berkeluh kesah ketika manusia menghadapi problematika hidup, dan Tuhan sebagai teman pendengarnya.
Bagi Marx, manusia harus dapat melepaskan dirinya dari belenggu harapan dengan cara aktif melakukan kerja produksi yang menjadi eksistensi sekaligus esensi dirinya. Manusia harus mampu mengedepankan sisi materi pada dirinya karena pada dasarnya manusia itu merupakan bagian dari materi alam. Dalam hal ini, Marx nyata-nyata mengkritisi dan menolak pemikiran Hegel yang menyatakan bahwa manusia itu terdiri dari materi dan roh. Konsekwensinya Marx menjadi tidak percaya akan roh dan kehidupan abadi.
Pengingkaran Marx terhadap roh ditujukan untuk mengkritisi bahasa-bahasa agama yang dominan bergema dalam ruang ilusi belaka, sehingga manusia, yang merupakan makhluk material, diarahkan untuk hidup dan berkonsentrasi pada dunia abadi yang sama sekali tidak menyentuh kebutuhan materialnya. Berdasarkan pemikirannya itu dengan lantang ia menggaungkan pernyataan bahwa agama hanyalah candu bagi manusia yang telah kehilangan esensi dan eksistensi diri.
Setelah memperhatikan kekuatan yang dimiliki agama dalam menarik minat manusia untuk menghambakan dirinya ke dalam suasana pengharapan yang begitu besar, Marx justru memberikan penguatan terhadap keberadaan agama. Ia beranggapan, dengan melontarkan kritik terhadap agama akan melahirkan kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk tertinggi bagi manusia. Menurutnya, kehendak manusia yang begitu besar untuk menghadirkan Tuhan dalam kehidupan justru mampu memberikan perhatian lebih terhadap manusia.
Persoalan yang tidak henti-hentinya dikemukakan oleh Marx adalah, bagaimana agama mampu mengembalikan esensi dan eksistensi manusia. Dalam dunia material, agama harus dapat ditafsirkan ke dalam bahasa-bahasa material pula. Karena agama untuk manusia, maka sewajarnya agama dapat menjadi fasilitas bagi manusia mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan. Esensi dari kebahagiaan dan ketenangan manusia adalah bekerja dan berproduksi.
Pemikiran Marx seperti tersebut di atas, pada bagian tertentu, telah diperikan Islam dalam al-Quran, seperti kehendak manusia akan kehadiran Tuhan dalam kehidupannya. Demikian pula dengan peran agama yang idealnya mampu mengangkat martabat sembari memelihara manusia dari keteraingan dengan esensi dan eksistensinya. Aturan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam, seperti : larangan bersikap sombong, takabur, khianat dan perbuatan lain yang bersumber dari penyakit hati, merupakan upaya untuk menjaga esensi dan eksistensi manusia.
Penutup, Sebuah Analisis Kritis
Islam tidaklah dapat dijadikan sebagai perwakilan paradigma dan pergerakan sayap kanan, karena ternyata masih ada prilaku keagamaan yang dilakonkan oleh ummat Islam yang kemudian memunculkan penilaian miring. Ekspresi keagamaan dengan mengatasnamakan agama dalam menetapkan secara pasti sebuah kebenaran, yang berkonsekwensi pada penutupan pintu kebenaran lain, masih menghiasi wajah prilaku ummat Islam. Padahal, Islam sendiri dari sejak awal sangat menghargai berbagai macam kebenaran hingga semua kebenaran itu terangkat ke atas dan berakumulasi menjadi kebenaran universal.
Demikian pula Marxisme, juga tidak dapat dengan semena-mena dituding dan diposisikan sebagai paham sayap kiri, karena ternyata, jika dikaji dan dianalisis secara sermat pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya sarat dengan muatan kebaikan dan kebenaran untuk manusia. Kritik dan gugatan Marxisme terhadap keberadaan agama tidak dapat dijadikan argumentasi pemberian nilai „kiri‟ padanya. Kalaupun belum tersedia sarana berpikir cerdas untuk dapat memahami tujuan dari kritikan kaum Marxis tersebut, bolehlah digunakan pola berpikir sederhana untuk dapat memahami bahwa Marxis ingin membebaskan dan menyelematkan manusia dari malapetaka alienasi. Tentunya, kita yang membaca tulisan ini adalah manusia yang memiliki fasilitas berpikir cerdas, sehingga kita mampu menangkap makna terdalam dari riak-riak pemikiran yang terhampar luas dalam samudera Marxisme, semoga !
No comments:
Post a Comment