Pages

Teknologi dan Ekspansi Kapitalisme





Manusia dan teknologi adalah dua kata yang tak bisa dipisahkan pada era modern pada saat ini. Kita tahu bahwa perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini, seakan-akan memudahkan dan memanjakan manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Hubungan manusia dan teknologi ini bisa temui disetiap aktivitas yang kita lakukan, Manusia tak akan pernah lepas dari sebuah Teknologi. Sehingga Teknologi saat ini, merupakan bagian dari kebutuhan pokok yang harus wajib dirasakan dan dinikmati manfaatnya, selain kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan papan.

Teknologi pada intinya adalah alat-alat ciptaan manusia yang ditemukan untuk memudahkan manusia menjalankan aktivitas kehidupannya. Tetapi pada kenyataannya saat ini, teknologi tidak hanya memiliki fungsi seperti demikian. Teknologi sekarang menjelma menjadi bagian hidup dan gaya hidup dari setiap manusia itu sendiri, banyak fungsi teknologi yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Misalnya Kita tau, bahwa teknologi pada saat ini bisa memudahkan kita sebagai manusia dalam berkomunikasi, seolah-olah jarak antara manusia yang satu dengan manusia yang berada di belahan dunia lain itu sangat dekat. Dimana pada zaman dahulu, hal ini tidak mungkin bisa dirasakan manusia, atau bahkan berkomunikasi dengan manusia di belahan dunia lain merupakan hal yang tidak masuk akal saat belum ditemukannya teknologi seperti yang bisa kita rasakan saat ini.

Bagi sebagian pemikir, seperti Jacques Ellul (1964) atau Herbert Marcuse (1964), upaya menghentikan laju perkembangan teknologi yang kian cepat dan makin kuat di dalam masyarakat kapitalis ini setengahnya berisi  kesia-siaan dan setengah lainnya kesombongan. Teknologi tumbuh sendiri melampaui pengendalian manusia. Tidak ada yang tidak bisa dilampaui teknologi. Tidak pula ada yang bisa menghentikan gerak laju dan mengarahkan sasarannya. Dia akan mendobrak segala dinding penghenti, melindas palang penghalang, melaju ke mana pun roda bergulir. Teknologi adalah kereta Jugernaut yang di atasnya globalisasi kapitalisme neoliberal menjamahi tiap inci muka bumi mengeruk semua yang memungkinkan akumulasi dan ekspansi kapital di delapan penjuru mata angin.

Jadi tidak mengejutkan, tekhnologi dalam masyarakat hierarkis akan cenderung memperkuat kembali hierarki dan dominasi. Para manager/kapitalis akan memilih teknologi yang melindungi dan memperluas kekuasaan mereka (dan keuntungan), bukan melemahkannya. Jadi, meski seringkali diklaim bahwa tekhnologi bersifat “netral” bukan ini yang terjadi (dan tak memang tak akan pernah demikian). Singkatnya, “kemajuan” dalam sistem hierarkis akan merefleksikan struktur kekuasaan dalam sistem tersebut.

Dalam pandangan Herbert Marcuse (1964), kebudayaan kapitalisme tiada lain adalah kebudayaan komoditi; kebudayaan yang berbasis pengejaran laba yang berlari ibarat bayang-bayang di depan proses produksi. Di bawah naungan kebudayaan ini semua nilai ditakar dengan takaran komoditi atau laku-atau-tidaknya di pasar. Tujuan kehidupan bermasyarakat seperti kerja, produksi barang, produksi budaya dan penciptaan seni, pendidikan, dan lain-lain berada di bawah pengawasan hukum besi komoditi yang tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sebenarnya, tetapi kebutuhan semu yang direka-reka. Segala tujuan diarahkan dan diperjuangkan sepanjang ‘laba’ menghendaki. Produksi umum bukan untuk memenuhi kebutuhan manusiawi tetapi agar terjual. Kebutuhan manusiawi yang sebenarnya, terutama komunikasi dan kebersamaan, malah tidak terpenuhi. Dalam kebudayaan komoditi, “manusia tidak (perlu) lagi saling berhubungan sebagai sesama manusia. Benda-benda material telah mengambil alih hubungan antarmanusia yang seharusnya manusiawi itu”.

Bagi Marcuse, teknologi bermain penting dalam pengendalian dan rekayasa keinginan. Teknologi kapitalis menggiring manusia seperti seorang gembala menggiring domba-domba patuhnya ke dalam kerangkeng yang menjadikan dimensi-dimensi manusia yang beraneka itu cuma tinggal satu: sebagai komoditi belaka (Marcuse 1964). Manusia yang dipandang sebagai benda akhirnya ikut memandang dirinya (tanpa disadarinya) tak lebih dari sekadar benda. Ketika sedang mengkritisi teknologi kepatuhan rezim-rezim otoriter. Dalam era industrialisasi dan teknologisasi masyarakat, manusia mengadaptasi dirinya dalam dunia teknis dan memperlakukan dirinya sendiri sebagai suatu komponen dalam sebuah sistem produksi. Akhirnya, mengambil perumpamaan Theodore Adorno, manusia di bawah rezim kebudayaan Kapitalis berperilaku  seperti narapidana yang mencintai kerangkengnya karena tidak ada hal lagi yang bisa dicintai.

Dalam kepustakaan Marxis, ada Grudrisse, buku setebal kitab suci yang isinya ancangan kasar, komentar-komentar, dan catatan-catatan terkait dengan penulisan buku tentang ekonomika. Grundrisse menyimpan gagasan tentang munculnya tatanan masyarakat jenis baru di dalam kapitalisme yang berlandaskan perkembangan teknologi paling maju yang disebutnya tahap otomasi (automation) (Marx 1973: 692-95).

Menurut Grundrisse, otomasi akan meluas sehingga mesin-mesin canggih berswadaya sanggup menggantikan tenaga manusia. Produksi tidak lagi bertumpu kepada manusia, tetapi kepada teknologi sebagai porosnya. Bila di masa sebelumnya mesin hanya bisa ‘bekerja’ di bawah kendali manausia, maka dalam tahap otomasi teknologi, mesin-mesin bisa ‘bekerja’ sendiri dan manusia sekadar ‘membantunya’. Mesin dan teknik-teknik produksi modern memungkinkan produksi efisien dan sedikit saja membutuhkan tenaga kerja manusia sehingga banyak waktu luang yang dihasilkan. Dalam keadaan seperti ini manusia tidak lagi diperbudak oleh ekonomi dan bisa meluangkan waktu untuk kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Namun sayangnya kekuatan produktif baru yang semestinya membebaskan manusia dari kerja-fisik tersebut ternyata tidak untuk kemaslahatan semua orang. Tujuan pokok dalam pengembangan teknologi bukanlah meringankan beban manusia, tetapi semata-mata untuk meningkatkan daya hisap kegiatan produksi atas nilai-lebih. Seperti dijelaskan dalam Manifesto Komunis bahwa “seiring dengan peningkatan dalam penggunaan permesinan dan pembagian kerja, beban kerja juga meningkat, entah melalui perpanjangan waktu kerja, dengan peningkatan pengepasan kerja di dalam waktu kerja yang ada atau karena kecepatan permesinan, dan sebagainya” (Marx & Engels, 2008: 43). Bagi kelas pekerja, waktu kerja bukannya menjadi semakin berkurang, tapi malah bertambah, dan waktu luang yang dihasilkan teknologi otomasi hanya dimanfaatkan untuk akumulasi dan ekspansi kapital lebih lanjut. Meminjam istilah Anthony Giddens (2004), ekonomi kapitalis adalah ‘ekonomi tunggang-langgang’ yang terus berlari mengejar bayangan kepalanya sendiri, dan di dalam sistem ekonomi seperti ini perkembangan teknologi seperti apapun justru merupakan malapetaka ketimbang juru selamat.

Selain itu, tahap otomasi juga diiringi oleh terbentuknya kelas-kelas pekerja baru yang lebih terampil, berpendidikan, dan akrab dengan teknologi tinggi. Kelas pekerja baru ini akan menggeser kelas pekerja tradisional manufaktur. Kelas pekerja lama ini pada akhirnya akan menjadi setumpuk cadangan industrial yang ‘berguna’ untuk mempertahankan rata-rata pengeluaran kapital-variabel di masa-masa krisis. Kebutuhan akan jenis pekerja baru yang berpendidikan tinggi pada ujungnya mengharuskan kapitalis memperdulikan persoalan pendidikan yang selama ini masih menjadi ‘eksternalitas’ dalam perhitungan ekonomi mereka. Paling tidak, kapitalis harus mendesak Negara sebagai lembaga yang dikhayalkan otonom itu untuk mengerjakan pekerjaan kapitalis menghasilkan tenaga-tenaga kerja jenis baru ini. Tentu saja, proses menghasilkan tenaga-tenaga kerja jenis baru ini tidak boleh dilepaskan dari rancangan untuk menghasilkan ‘sumberdaya manusia’ yang patuh karena reproduksi kapital harus selaras dengan reproduksi sumberdaya manusia seperti yang disinyalir Foucault.

Di sisi lain lembaga-lembaga pendidikan bukan lagi sekadar lembaga sosial yang bertujuan meningkatkan martabat pembebasan manusia di dalam dunia modern ini. Dengan meningkatnya ketergantungan kapitalisme kepada pengoperasian teknologi canggih, maka lembaga-lembaga pendidikan lebih merupakan lembaga produksi jasa penghasil komoditi yang bernama “pengoperasi teknologi”. Ilmu pengetahuan menjadi semakin terkomodifikasi dan terkena langsung oleh hukum pasar kapitalis. Ilmu menjadi semakin teknis dan ilmu-ilmu yang semakin dekat dengan proses sirkulasi kapital akan semakin berkembang, sementara ilmu-ilmu yang jauh dari sirkulasi kapital semakin surut. Sejak akhir dasawarsa 1980-an, jenis ilmu terapan baru, teknik informatika, muncul dan berkembang pesat. Tentu saja bukan karena kurikulum, kualitas pengajar, dan sumbangsihnya bagi kemanusiaan yang membuat administrasi niaga, hukum bisnis, manajemen resiko, dan psikologi industri lebih berkembang ketimbang arkeologi, antropologi, filologi, atau filsafat. Sebabnya jelas terkait dengan perubahan corak sirkulasi kapital.

Selain itu, dengan berubahnya sirkulasi kapital berupa kecenderungan ekonomi dunia yang bergerak ke arah ekonomi spekulasi finansial berbasis internet atau yang dalam istilah Giddens disebut ekonomi-elektronik-global (global-electronic-economy/GEE) (Giddens 2004: xv), teknik-teknik manajemen sumberdaya manusia juga harus berubah. Tidak lagi untuk mengendalikan tubuh-tubuh pekerja upahan di pabrik-pabrik, tetapi untuk mengontrol pikiran sehingga di manapun mereka bekerja, maka mereka bekerja sesuai dengan kepentingan kapital.

kuyen kuyasakti

Rakyat jelata yang haya ingin berbagi informasi.

No comments:

Post a Comment