Pages

Membongkar Mitos Agama


Fenomena kehadiran term agama di tengah-tengah masyarakat, rupa-rupanya masih menyimpan pesona. Tidak sedikit kajian yang berkisar tentang agama pun begitu semarak di belantara dinamika intelektual. Bahkan, kalau dirunut dari sudut pandang sejarah, perbincangan tentang agama memang memiliki akar historis yang demikian panjang.

Entah harus darimana cerita sejarah tentang agama ini mesti dibahas. Barangkali saking panjangnya, dan terutama saking tidak tahunya penulis terhadap permasalahan ini. Namun yang pasti, hampir semua masyarakat yang pernah tinggal di Bumi pernah mengenal agama kendati dalam istilah yang berbeda. Beberapa contoh di antaranya, dien dalam perkataan orang Arab. Religion menurut orang Inggris. Sementara itu, orang Indonesia menyebutnya dengan istilah agama.

Penulis sendiri berfikiran bahwa istilah boleh jadi berbeda, asal pemaknaan sendiri yang harus sama. Tentu saja, agar satu sama lain saling paham dengan fikiran masing-masing. Karena memang, ternyata kita tidak hidup sendirian. Seperti halnya berbedanya istilah korupsi menurut para politisi. Sementara, orang yang tidak paham dengan arti dari istilah korupsi menggantinya dengan perkataan pengambilan uang rakyat.

Soal istilah, tidak perlu banyak diperdebatkanlah, asal saling paham satu sama lain. Seperti contoh korupsi tadi. Pada dasarnya, ungkapan itu merupakan pencerapan dari realitas bahwa ada kejadian, orang mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Semacam nyolong.  Demikian halnya dengan perbedaan istilah antara dien, religion dan agama.

Istilah tadi merupakan sebutan orang tentang adanya suatu realitas yang menyiratkan adanya sistem ajaran. Mulai dari kehidupan dunia hingga akhirat kelak. Kepercayaan terhadap akhirat tadi, barangkali yang membedakan antara agama atau dien, atau religion dengan kepercayaan lainnya, yang tidak menambahkan istilah Pencipta dan alam akhirat, minimal secara tekstual.

Beberapa perbincangan yang menarik di sekitar sejarah agama ini adalah  tentang peran sesungguhnya dari agama sendiri. Benarkah agama merupakan fitrah bagi manusia dan dapat menyelamatkan manusia, membawakan secercah  pembebasan (kemerdekaan sejati)? Lantas, pembebasan dari hal apa? Bukankah hal ini hanyalah utopis belaka.

Begitu menarik, bila perbincangan sudah sampai sini. Banyak orang yang sok yakin bahwa agama adalah solusi. Sementara itu, tidak sedikit pula yang putus harapan terhadap peran agama sendiri. Hingga keluar ungkapan, “agama tidak bisa menjawab semua permasalahan di dunia!”

Terlepas dari itu semua, secara umum, barangkali agama dapat diartikan sebagai suatu sistem ajaran yang dianggap manusia akan mampu membawa kedamaian, kebahagian dan surga, tidak hanya di akhirat, tapi juga di dunia. Yang jadi masalah selanjutnya, benarkah agama pernah dapat berperan seperti itu? Kalau jawabannya iya. Kapankah itu?

Sebagian orang, bisa jadi mulai berkisah tentang sejarah agama tertentu. Tentu saja dengan tafsiran yang subjektif, paling tidak menurut sangkaan pribadinya sendiri, yang kadang terbatasi oleh pengetahuan yang kurang pula. Bisa jadi, yang dominan mengemuka adalah upaya pembelaan yang cenderung a-pologetik.

Kenyataannya, agama atau ajaran apa pun akan sangat terkait erat (tergantung) terhadap pemahaman manusia sendiri. Dan adakalanya dengan demikian, manusia tidak merasakan adanya peran agama. Dalam domain sistem, tidak jarang, agama belum banyak berbicara perihal solusi yang efektif, realistis dan konkrit sifatnya.

Akan tetapi, boleh jadi tidak ada yang salah dengan agama, walaupun tidak menutup kemungkinan juga terdapat adanya kekeliruan pada alur konsepsinya. Kalau demikian, boleh jadi manusia-lah yang khilaf, karena mengalami semacam miss-conception. Sehingga, hal ini cukup berpengaruh terhadap tafsiran yang akan mengemuka.

Di alam dunia – maksudnya kehidupan sebelum akhirat – adakalanya pada kumpulan orang-orang yang tertimpa penindasan (di-dzalimi sistem), agama menyerupai wahana pelarian untuk merintih dan mendapatkan kedamaian semu. Sehingga, manusia dengan agama yang dianggapnya suci itu seolah menjadi “macan ompong” yang tidak mampu ber-ikhtiar untuk menghembuskan genderang perubahan.

Atau bisa jadi, agama adalah sang pelipur lara. Beberapa orang ‘lari’ ke tempat-tempat yang ‘menyejukkan’, walau tanpa solusi, selain merasa tidak mampu menemukan solusi. Lalu melepas kebobrokan sistem dengan ungkapan dari teks – yang konon suci – sehingga menjadi kelihatan religius. Padahal, sekali lagi. Tidak pernah menjadi solusi.   

Fenomena seperti ini, dalam istilah seorang peminat kondisi sosial, disebut desublimasi-represif. Yang artinya sebuah kondisi di mana kaum tertindas tidak menyadari, bahkan cenderung menikmati ketertindasan yang menimpanya. Karena memang belum menyadari bahwa dirinya tengah ditindas di tataran realitas.

Lalu, dimana peran agama? Tidak ada. Karena manusia tidak memahami bahwa agama tidaklah sekedar teks yang konon suci dan sejarah tokoh pengusungnya di masa lalu yang kerap lebih cocok disebut semacam mitos sejarah. Kedua hal itu hanyalah berita. Persis seperti berita tentang koruptor kelas kakap yang tidak diadili. Jelass akan menjadi berita yang biasa saja, ketika di saat yang sama tidak hadir kesadaran mengenai apa itu korupsi, kenapa ada korupsi dan apa efeknya bagi kita – yang mungkin tidak se-korup itu.

Apabila dilacak ke akar filosofisnya, faktor agama adalah salah satu variabel dominan yang membentuk mental masyarakat tesebut. Betapa tidak, kekuatan transendental yang telah terlembaga dalam sebuah pemahaman teologi masyarakat, ternyata berpengaruh signifikan bagi pembentukan perilaku dan gaya hidup manusia.

Juga tidak dapat dipungkiri, hal itu telah menghantarkan mereka kepada gaya hidup yang fatalistik. Sehingga, pesan keadilan dan anti-kezaliman Tuhan yang dibawa oleh agama, telah menjelma menjadi alat penindas. Pada kondisi semacam inilah, statemen Marx yang mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat (religion is opium of the people) menemukan relevansinya.

Kalaulah teori Marx ini relevan, lalu siapa yang keliru? Marx yang salah mempersepsi atau agama dan pemahaman penganutnya sendiri yang menjadikan agama tergiring pada area apologi yang kering akan nuansa semangat dan gelora perubahan yang ‘lebih membumi’. Terlepas dari itu semua, landasan teori Marx di satu sisi memang mesti dipahami secara jujur, ilmiah dan terbuka. Begitu pula halnya dengan agama. .

            Membincang soal peran agama akan sangat terkait antara sistem ajaran agama dengan pahaman yang mendekam pada benak manusia. Karena, kita tidak bisa menutup mata, bahwa sumber-sumber keagamaan (teks) hanyalah berisi berita, yang secara fisik notabene berada di luar diri manusia itu sendiri.

Dengan demikian, masalah agama dan perannya merupakan bahasan yang masih perlu diperbincangkan dengan jujur (de-sakralisasi) sampai kapanpun. Perkataan Karl Heinrich Marx yang pernah dilontarkannya bahwa agama adalah candu rakyat, tentu sepatutnya diposisikan sebagai kritik terhadap bentuk manifestasi dari agama sendiri. Kalau nggak, tempatkanlah sebagai sindiran bagi kalangan yang mengelu-elukan sakralitas agama.

Kadang, manusia bersikap berlebih-lebihan terhadap agama. Sehingga adakalanya agama pun mengalami nasib sial. Tak jarang akhirnya, agama pun “di-krangkeng” oleh kejumudan pikiran manusia. Alhasil, agama bukannya menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan-lil-‘alamin), melainkan telah dipelintir menjadi sumber percekcokan dan lahan legitimasi untuk kepentingan politik yang temporer.  

Jelas, mendiskusikan dan merenungkan kembali akan arti penting agama perlu dilakukan sampai kapanpun. Bahkan, sebaiknya bukan hanya sebatas wacana, melainkan membentuk sistem pahaman dan sistem gerakan yang lebih ter-organisir, sehingga agama ridak lagi dikatakan sebagai “rumah” bagi orang-orang yang tengah dilanda gundah-gulana. Membincang ulang dan merenungkan kembali entitas agama jelas perlu, mumpung belum dianggap sebagai perilaku yang in-konstitusional, subversif atau mengganggu stabilitas politik. wa-Allohu-A’lam-bi-al-Showab.

kuyen kuyasakti

Rakyat jelata yang haya ingin berbagi informasi.

No comments:

Post a Comment